Kejadian di danau itu membuat jarak antara aku dan Arka, sekitar satu bulan ini aku tidak bertemu Arka, tidak ada pesan atau telpon darinya. Perasaan takut tiba-tiba muncul dalam diriku, takut Arka menjadi Lusi yang pergi begitu saja. Aku tidak boleh takut, karena aku percaya jika aku takut pada sesuatu maka sesuatu itu benar-benar ada atau akan terjadi. Bertolak belakang dengan Frans, dia semakin baik padaku, insiden tenggelam dan mata biru di danau yang terakhir kali ku lihat. Aku yakin Frans yang sudah menolongku waktu itu. Tapi aku tidak bertanya pada Frans, aku hanya menebak nebak, aku juga malas mengungkit cerita lama. Jalani saja.. Frans dan aku akan pergi ke bioskop malam ini, katanya ada film baru. Aku tidak mau jika hanya pergi berdua, aku mengajak Zao dan Anthony, tapi mereka menolak. “Siapa lagi ya? Arka?” Aku kemudian menghubungi Arka, sibuk, ponselnya dimatikan atau dialihkan aku tidak tahu, yang jelas nomornya tidak aktif. Tapi aku penasaran, sejak aku tenggelam Arka sama sekali tidak pernah menjengukku, jangankan menjenguk, menanyakan kabar saja tidak ada, aku memutuskan untuk tidak jadi pergi ke bioskop dan malah ke rumah Arka.
Dira : “Maaf ya Frans, lain kali aja kita nonton..”
Frans : “Its Ok Dir..”
Aku pergi ke rumah Arka, rumahnya sepi.. aku semakin gugup, perlahan aku menaiki anak tangga. Arka kemana? Sepertinya dia tidak ada di rumah. Aku menekan bel dan benar tidak ada yang membukakan pintu. Aku menunduk lesu, tapi aku harus tetap semangat dan mencoba mengetuk pintunya. “Arka… Arka…” aku juga memanggilnya, tapi tidak ada jawaban. Aku menyerah dan ingin kembali pulang, tiba-tiba tetangga sebelah rumah Arka memanggilku. Dia bertanya padaku, apakah aku mencari Arka? Aku mengangguk mengiyakan. Dia bilang Arka balik ke Indonesia.
Dira : “Hah? Ok.. Thank you Miss..” ucapku.. “Arka balik ke Indonesia??” Aku benar-benar marah, bisa-bisanya dia balik tanpa memberi tahuku. Aku langsung menelpon mamaku.
Mama : “Halo Dir..”
Dira : “Ma.. Arka ada di situ?”
Mama : “Oh iya kemarin mama ketemu dia pas mau ke pasar, kenapa Dir?”
Dira : “Kok dia balik ke Indo gak ngomong ke aku dulu sih..?”
Mama : “Kamu kenapa sih Dir, yah terserah dia lah, dia kan bukan siapa-siapa kamu, dia hanya teman kamu”
Aku terdiam sesaat mendengar kalimat mama, ada benarnya ucapan mama aku hanya teman Arka, dia berhak untuk tidak memberi tahu siapapun, termasuk aku.
Dira : “aaaa iya ma, kalau gitu Dira tutup telponnya ya, nanti pas di rumah Dira telpon lagi..”
Mama : “Ibunya Arka sakit, makanya Arka pulang..” jelas mama lagi.
Aku tambah terkejut mendengar kabar dari mama. Pantas saja dia pulang mendadak, meninggalkan urusan di tengah semester, jadi orang tuanya sakit. Kenapa dia tidak memberi tahuku, dasar Arka. Aku menutup telpon dan pulang ke rumah. Hujan turun padahal sebelumnya cerah. Tetesan air hujan di kaca jendela kamarku jatuh perlahan, aku merenungi semuanya. Selama ini bukan Arka yang jahat, tapi aku yang jahat, bahkan pada diriku sendiri. Jika saja aku mengiyakan permintaan Arka untuk bercerita tentang Lusi, mungkin semuanya gak akan seperti ini. Terlambat sudah.. semua sudah sampai disini.
Beberapa hari kemudian aku mendapat kabar lagi dari mama, katanya Arka akan menyelesaikan tugasnya dari Indonesia saja, karena dia juga harus merawat ibunya. Aku sebenarnya ingin pulang dan menjenguk ibu Arka, tapi semester belum selesai. Aku meminta mama bilang ke Arka agar mengaktifkan ponselnya, mama bilang ponsel Arka rusak.
Dira : “Rusak kenapa ma?”
Mama : “Katanya kemasukan air..” Jadi sekarang Arka ganti nomor, aku mau minta nomor Arka yang baru, tapi rasanya malu. Biarlah nanti kalau keadaan membaik, semoga dia segera menghubungi aku.
Di akhir semester aku mendapat kabar dari dokter Madi, entah ini kabar buruk atau kabar baik. Dokter bilang ada pasien yang bernama Lusiana Van Der Smit, sekitar 9 tahun yang lalu di rawat di rumah sakit. Dokter Madi menyuruhku untuk menghubungi bapak tiri Lusi, karena data wali yang ada hanya milik bapak tiri Lusi. Lupakan sejenak masalahku dan Arka, tanpa sepengetahuan papa juga mama, aku akan mencari Lusi lagi. Informasi sekecil apapun tentang Lusi, tidak boleh ku sia-siakan, aku tidak akan kehilangan Lusi untuk kesekian kalinya.
Libur semester sudah tiba, saatnya aku kembali ke Indonesia. Aku tidak sabar bertemu dengan mama, papa, juga Rio adikku, dan Anehnya selain mereka bertiga aku juga ingin segera menemui Arka. Dia benar-benar jahat, bisa-bisanya dia tidak menghubungi aku selama setengah semester. Hati ini rasanya senang sekali, karena bisa kembali ke tanah kelahiran. Keluargaku rupanya sudah menunggu di Bandara. Baru turun dari pesawat, sudah kelihatan wajah kedua orang tuaku yang kegirangan menyambut kedatangan anaknya.
Mama : “Dira… sini..sini…” Mama melambaikan tangannya padaku, aku berlari menghampiri, rasanya aku juga benar-benar merindukan mereka. Aku memeluk mamaku.
Dira : “Aku kangen mama..” Ucapku..
Mama : “Iya.. mama tahu, mana oleh-olehnya?” tanya mama, aku memutar bola mataku.
Dira : “Yang ditanya malah oleh-oleh.. iya ada ini”
Papa : “Ya udah ayo kita pulang..”
Kota ini masih sama, hanya sedikit yang berubah. Semakin dekat dengan rumah, aku ingin cepat-cepat istirahat. Saat melewati Blok B, aku teringat Arka, dia ada di rumah gak ya? Apa nanti aku ke rumahnya, aku bingung. Aku juga merasa tidak enak, karena sudah lama tidak tegur sapa, tapi aku ingin tahu kabarnya.
Dira : “Ma.. Arka ada di rumahnya?”
Mama : “Ada..”
Dira : “Dia sibuk banget ya? Gimana kabar ibunya?”