Aku setengah berlari menuju tempat Morris yang berdiri sambil terbatuk-batuk di dekat sebuah meja kafe. Wajahnya tampak pucat dan letih. Sebelum aku mencapai tempat dia berdiri, dua orang teman kerjanya di kafe menghampirinya lebih dulu lalu memapahnya menuju dapur kafe.
Aku tak dapat bicara apa pun saat mengikuti Morris dan dua rekan kerjanya . Hanya khawatir dan panik dengan keadaan Morris. Aku tahu, hampir semua pengunjung di kafe memperhatikan kami. Ada yang terlihat ikut khawatir, kasihan, namun ada juga yang tampak tidak senang. Mungkin menganggu nafsu makan mereka.
“Terima kasih,” ucapku pada kedua teman Morris saat Morris sudah duduk di sofa pendek berwarna hijau di dapur kafe.
Batuk Morris bertambah keras. Dia berusaha menutupi mulutnya dengan kedua tangannya. Namun saat dia membuka tangannya, cairan kental berwarna merah telah menempel di telapak tangannya yang pucat.
Meskipun bukan sekali ini melihat pemandangan seperti itu pada Morris, aku tetap saja syok dan ngeri melihat hal itu terjadi pada Morris. Ku ambil sapu tangan biru bermotif boneka dari dalam tasku lalu ku usapkan ketelapak tangannya.
Aku tidak dapat menahan air mataku saat membersihkan darah di telapak tangan Morris.
“Kak, jangan menangis,” ucap Morris dengan nada lemah.
Aku memandang wajah ovalnya yang putih dan semakin pucat. Kecantikannya yang alami menjadi terhalangi oleh lingkaran hitam di sekitar matanya yang cokelat.
“Maaf, Morris,” kataku dengan agak gemetar.
“Ini, minum dulu, Morris,” kata seorang teman kerja wanita Morris yang sedang memegang segelas air putih.
“Terima kasih,” kata Morris lalu menerima gelas itu dan meminumya sedikit.
“Aku tinggal kerja dulu ya,” kata teman Morris yang di jawab anggukan kepala oleh Morris.
“Morris, Pak manajer memanggilmu ke kantornya,” kata seorang temannya yang lain.
“Iya,” jawab Morris lalu menarik nafas panjang.
Aku melihat wajahnya yang terlihat sangat letih namun berusaha tampak kuat di depanku. Aku tahu, Morris berusaha menutupi rasa sakit yang dia rasakan supaya aku tidak cemas. Bagaimanapun juga, aku tetap cemas. Dia adik kembarku. Dan aku tidak bisa berbuat banyak untuknya.
“Biar ku bantu berjalan ke kantor,” kataku.
Morris menggelengkan kepala pelan. “Tidak usah, kak. Aku kuat berjalan sendiri. Lagipula, kantornya tidak jauh,” kata Morris sambil berusaha tersenyum.
“Baiklah kalau begitu,” ucapku meski tidak terlalu tega membiarkannya berjalan sendiri karena aku tahu dia masih lemah. Tapi, aku juga tidak bisa memaksanya.
Morris berjalan pelan menuju kantor manajer, meninggalkanku yang termenung sendiri di dapur kafe.
Aku duduk di sofa sembari melamun.
Morris adalah adik kembarku yang paling sabar dan baik. Tapi dia mendapat cobaan seberat itu. Penyakit kanker paru-paru yang sudah hampir satu tahun menggerogotinya itu bisa kubayangkan pasti sangat menyiksanya. Aku baru mengetahui dia menderita penyakit itu sekitar dua bulan yang lalu.
Saat itu, aku yang baru saja pulang dari bekerja menemukan Morris yang tak sadarkan diri di dapur. Darah membasahi mulut dan bajunya. Bau amis darah memenuhi ruangan. Awalnya aku mengira ada yang telah menyakitinya. Aku pikir, rumah kami di datangi pencuri dan Morris yang saat itu memergoki mereka dan menjadi korbannya.
Aku panik setengah mati saat itu. Aku hanya sendirian dan bingung harus berbuat apa. Segera ku ambil handphone dari dalam tasku. Saat aku akan menelpon polisi, tiba-tiba Morris membuka matanya. Kubatalkan untuk menghubungi polisi.
“Morris, kau kenapa?” kataku dengan khawatir sambil membantu Morris bangun.
Morris tampak salah tingkah. Dia hanya terdiam sambil memandangi kaos kuningnya yang basah oleh darah merah.
Tanpa menunggu Morris menjawab, aku segera mengambil tisu dari tasku dan membersihkan darah yang melekat di sekitar mulut dan lehernya.
“Apakah ada yang melukaimu?” tanyaku.
Morris hanya menggelengkan kepala. Rambutnya yang cokelat sebahu tampak terkena darah sehingga ada bagian yang melekat.
“Lalu, apa yang membuat darah sebanyak ini melekat di tubuhmu?”
Morris hanya diam, tak berani memandangku.
“Morris?”
Morris menarik nafas panjang lalu menatapku dengan sedih. “maaf, kak,” ucapnya, lemah.
“Maaf untuk apa?”
“Maaf karena aku tidak menceritakannya dari awal,” kata Morris yang semakin membuatku bingung.
“Aku tidak mengerti maksudmu. Apa yang tidak kau ceritakan padaku?” tanyaku sambil memperhatikan wajahnya yang tampak berusaha untuk kuat.
“Aku sakit, kak. Hampir satu tahun ini aku mengidap kanker paru-paru.”
Aku tersentak sambil menatap Morris dengan wajah tak percaya. Adik kembarku ini mengidap kanker paru-paru dan dia menyembunyikannya dariku.
“Maaf, kak,” ucap Morris dengan sedih. “Aku cuma tidak ingin merepotkan kakak.”
“Tapi kamu tidak merepotkan kakak. Sudah kewajiban kakak bila harus membantu adik kakak yang sakit. Ayo kita ke dokter sekarang!”
Morris hanya memandangku lalu berkata, “justru itu, kak. Morris tidak ingin merepotkan kakak dengan mengeluarkan uang percuma untuk mengobati sakitku ini.”
“Apa maksudmu dengan percuma? Bukankah kamu sendiri yang bilang pada kakak kalau kita tidak boleh menyerah. Lalu kenapa sekarang kamu menyerah?”
“Penyakitku ini sudah stadium lanjut, kak. Aku sudah memeriksakannya ke dokter. Dan pengobatannya akan menghabiskan banyak biaya. Aku masih ingat perkataanku. Aku juga tidak menyerah melawan penyakitku ini, kak. Tapi saat ini, sekolah Kevin paling penting. Aku dan kakak sama-sama tahu kalau Kevin memiliki masa depan yang lebih baik. Kita juga tahu dia tahu bagaimana membalas budi kakak-kakaknya. Jadi, aku lebih ingin melihat Kevin sukses daripada mengobati sakitku yang belum pasti sembuh. Aku tidak ingin mengorbankan masa depan Kevin.”
“Tapi, bukan berarti harus mengorbankan kesehatanmu, kan?” sanggahku.