Cerita Hidup Irawan Bersaudara

Jenny C Blom
Chapter #3

Marrissa dan Kevin

Rumah bertipe 100 yang terletak jauh dari kota dan di kelilingi tanaman-tanaman hijau ini sudah aku tinggali bersama ketiga saudara kandungku sejak kedua orang tuaku meninggal. Rumah ini merupakan rumah peninggalan terakhir dari tiga rumah yang dulu pernah di miliki kedua orang tuaku.

Rumah ini memiliki tiga kamar. Marris dan Kevin memiliki kamarnya masing-masing. Sedangkan aku, satu kamar namun berbeda ranjang dengan Morris.

Morris baru saja tertidur. Wajahnya yang cantik namun pucat itu tampak lelap. Mungkin sakit yang dia rasakan tadi juga tidak dia rasakan lagi saat dia tertidur. 

     Morris yang malang.

Aku membiarkan Morris menikmati tidurnya yang nyenyak di temani angin sejuk yang masuk melalu sela-sela ventilasi dan jendela kamar.

Saat aku baru melangkah keluar kamar, Marris masuk melalu pintu depan rumah dengan wajah berseri sembari menatapku. Aroma farfum di tubuhnya sudah dapat aku cium. Aku menatapnya dingin.

Marris bertubuh ramping sama seperti aku dan Morris. Tingginya pun tak jauh beda dengan kami. Namun, dia memiliki fisik yang sehat. Wajahnya cantik, tanpa cacat seperti Morris, tapi dia banyak melakukan perawatan wajah dan berdandan, hanya itulah yang membedakannya dengan wajah Morris.

Berbeda dengan Morris, dia memiliki kesehatan yang baik. Setiap dari hasil kerjanya, selalu dia sisihkan untuk membentuk tubuhnya di tempat fitnes. Hanya memikirkan kebutuhannya sendiri. Itulah yang terpenting darinya. Tak pernah sedikit pun dia memikirkan kebutuhan adik-adiknya. Menyumbang untuk sekolah Kevin pun dia tidak pernah.

Marris selalu berkata, semua yang kita butuhkan harus kita usahakan sendiri. Huh! Perkataan yang terlalu sok.

Marrissa memiliki fisik paling sempurna diantara saudara-saudara kembarnya, aku dan Morris. Tapi sayangnya hatinya jauh dari sempurna karena keegoisannya.

Tangan kanan dan kirinya mengenggam plastik hijau bertuliskan nama sebuah butik yang cukup terkenal di kota. Kegemarannya sehari-hari yang membuatku bertambah muak.

“Mer, sebentar Mer,” kata Marris.

Aku sudah bisa menebak apa yang akan di lakukannya. Marris membuka belanjaan di tangannya lalu mengeluarkan sebuah gaun berwarna ungu yang sangat indah tapi membuatku bosan karena seperti biasanya, dia memamerkan gaun itu sambil tersenyum bangga namun terlihat konyol bagiku.

“Bagus tidak?” tanya Marris.

“Bagus,” jawabku, singkat dan dingin.

“Kalau yang ini?” Marris mengeluarkan sebuah gaun lagi dari kantong belanjanya.

Aku memandang dengan malas gaun biru bermotif bunga. Aku menatap wajah Marris dengan penuh kejengkelan tanpa berkomentar.

“Bagaimana, Mer ?”

Aku benar-benar merasa tidak tahan lagi dengan sikap Marris. Emosiku memuncak. Ku tatap tajam mata Marris yang cokelat dan bening.

“Apa kamu tidak pernah sadar kalau kamu itu sangat keterlaluan Marris?” ucapku dengan ketus.

Marris menurunkan gaun yang tadi dia pasangkan ke depan dadanya sambil mengernyit menatapku.

“Keterlaluan bagaimana maksudmu?” kata Marris dengan gusar.

Aku tertawa pelan karena merasa kesal. “ternyata kau memang tidak pernah sadar kalau kamu itu memang sangat keterlaluan.”

“Aku keterlaluan apa?” kata Marris dengan nada meninggi. 

“Aku bosan denganmu, Marris!” ucapku dengan kemarahan meletup-letup. “kau saudara kembarku dan Morris, paling tua di antara saudaramu yang lain, tapi kamu tidak pernah sekalipun memikirkan keadaan kami. Kamu terlalu sibuk dengan kepentinganmu sendiri yang sebenarnya tidak terlalu penting itu.”

Air mata menetes membasahi pipiku.

“Maksudmu apa dengan tidak mengerti kalian?”

“Sudahlah! Aku malas berdebat dengan orang yang tidak punya hati sepertimu!”

Marris membuka mulutnya untuk membalas perkataanku namun dia batalkan karena melihat Morris yang berdiri di pintu kamar sambil memandangku dan Marris dengan heran.

Aku menjadi merasa menyesal, karena terlampau emosi sehingga membuat Morris terbangun. Aku merasa malu padanya.

“Ada apa kak, kok ribut-ribut?” tanya Morris dengan nada lemah sambil berjalan ke dekatku. Wajahnya masih terlihat pucat dan lelah.

Morris menatapku yang tidak berkata apa pun untuk menjawabnya.

“Kamu tidak kerja, Morris?” tanya Marris.

“Tidak, kak,” jawab Morris sambil memandang wajah Marris yang serupa dengannya dengan pandangan lesu.

“Kenapa? Sakit?” tanya Marris.

Morris menarik nafas panjang lalu menjawab, “Aku berhenti kerja, kak.”

Ekspresi wajah Marris tampak terkejut mendengar hal itu. Aku mengira dia prihatin dengan keadaan Morris yang terlihat sakit dan bisa mengerti alasannya berhenti kerja. Namun, dugaanku ternyata salah.

“Tapi kenapa?” kata Marris dengan ekspresi gusar. “Kamu kan tahu kalau mencari pekerjaan jaman sekarang sangat sulit, mengapa kamu lepas begitu saja pekerjaan yang sudah lama kamu jalani itu?”

“Marris!” bentakku. Aku merasa kecewa dengan ucapannya. Emosiku kembali memuncak. Apalagi ketika melihat Morris hanya menunduk, tanpa kata.

Lihat selengkapnya