Langit hampir hitam sejauh mata memandang, bias-bias jingga sisa senja tadi telah lenyap meninggalkan warna biru tua yang juga kian memudar dimakan kegelapan malam. Lampu menyala dari segala arah, dari warung penjual nasi goreng di pinggir jalan yang redup lampunya seolah hidup segan mati tak mau sampai gedung-gedung dan swalayan besar yang terang lampunya cukup menyilaukan.
Jalanan tampak ramai dilewati mesin-mesin beroda tak tahu entah mau ke mana tujuannya. Tidak terlalu jauh dari jalanan kota yang bising, seorang perempuan berseragam hijau muda keluar dari sebuah hotel kecil. Hotel itu berada di tengah kawasan permukiman yang lebar jalannya hanya bisa dilewati dua mobil keluarga secara bersamaan, hanya ada tiga lantai dan beberapa kamar, warna cat hijau tuanya yang tampak masih baru bisa membuat orang-orang akan mengira kalau hotel tua itu baru dibuka. Papan nama lampu hotel berukuran sepanjang satu tangan orang dewasa terpampang di depan, lima huruf kapital berwarna merah terang menyala di sana: ARISA. Area parkirnya tak luas, hanya sanggup menampung beberapa mobil dan sepeda motor, sebuah Bar berada di sisi kiri sedinding dengan hotel, lampu kerlap-kerlip telah menyala pula diiringi suara musik tipis-tipis yang tembus keluar.
Perempuan itu duduk di dinding pagar pembatas setinggi lutut di samping pos penjaga hotel. Rambutnya sepunggung disemir merah tanah, tampak kering dan agak acak-akan karena kurang dirawat. Kulitnya sawo matang dan tubuhnya kurus semampai. Seragam hijau muda yang dia kenakan mirip seperti seragam olahraga murid sekolah, lengkap celana training berwarna senada, di bagian dada kiri seragamnya terdapat nama yang dijahit rapi bertuliskan: Yuli, sesuai nama pemiliknya. Yuli mengeluarkan sebungkus rokok dari tas sandang rajutnya yang juga tampak kusut dan lusuh, diambilnya sebatang rokok lalu ditaruh di ujung bibir. Tangannya beralih merogoh saku celana mencari pemantik tapi tak ada, diliriknya pos penjaga. “Rul, ada korek?” tanyanya pada penjaga yang tengah menonton TV di dalam pos.
Pria gemuk bernama Asrul itu tidak beralih sedikit pun dari acara dangdut kesukaannya, tangan kirinya meraih pemantik gas dari atas tabung TV kemudian menyerahkannya pada Yuli melalui jendela kaca kecil yang terbuka. “Belum pulang, Yul?” tanyanya dengan muka masih menghadap layar TV.
“Belum, nunggu Linda. Masih ada klien terakhir dia,” jawab Yuli setelah menyalakan rokoknya, diisapnya agak dalam memastikan api yang dia nyalakan sudah cukup besar, sebentar dia embuskan lagi asap ke udara kuat-kuat.
“Oh... Banyak tamu hotel yang minta pijat hari ini?” tanya Asrul lagi, kali ini dia menengok sekejap ke arah Yuli sebelum kembali ke TV-nya.
“Lumayan, ada lima kayanya, dua kutolak karna ternyata maunya ples-ples.”
Asrul tertawa pelan mendengar jawaban jujur itu. “Masih kau tolak? Aduh, Yul... Hari gini rezeki jangan ditolak, keburu gak laku," katanya enteng sebab sudah biasa bicara blak-blakan dengan Yuli dan dia pun tahu wanita itu tak pernah memasukkan hati perkataan orang lain.
“Enaknya kau ngomong gitu, ngapain jauh-jauh merantau kalo buat jual diri,” protes Yuli. “Aku ada suami lagian.” Dia menyambung kemudian.
“Eh banyaklah. Malah lebih enak jual diri di kota ketimbang di kampung, tau? Tapi aku tau lah kau beda, suami jauh pun tetap setia.” Asrul masih tetap pada pemikirannya.
“Yah bukan gara-gara dia juga aku gak mau melonte.” Yuli tegas membantah.
Asrul tertawa lagi mendengar jawaban jujur Yuli tapi mulutnya tidak lagi menyahut. Yuli akhirnya bisa fokus menikmati rokoknya sambil memandangi langit yang sudah dihiasi beberapa bintang sekarang, pikirannya menerawang jauh seakan meninggalkan tubuhnya sampai sebuah tangan menepuk pundak kirinya dibarengi sebuah suara. “Mbak gak ambil makan malam tadi?”
Linda rupanya, teman kerja Yuli sekaligus teman satu kontrakan sejak tiga tahun lalu. Namanya yang klise selaras dengan kecantikan parasnya. Gadis belia itu bertubuh mungil dengan kulit kuning langsat yang halus, rambut gelapnya lurus sebahu dan tebal, teduh sinar mukanya tapi lebih sederhana disebut Yuli sebagai ‘muka lempeng’. Dipercantik lagi dengan senyumnya yang teramat manis, Yuli selalu meledek keceriaan Linda disebabkan usianya masih muda dan belum punya banyak masalah.
“Gak," jawab Yuli pendek. “Tunggu bentar, ya. Habisin rokok." katanya. Linda mengangguk kemudian menilik jendela pos.
“Dek Linda udah makan?” Asrul yang menyadari kehadiran Linda langsung membalik badan dan pasang senyum lebar.
“Basi kali pertanyaanmu.”
“Ya masa kamu baru datang aku tanya mau ke mana? Jelas-jelas itu aku tau.” Asrul menggerutu sewot. “Repot kali lah cewek-cewek ini, mau nanya aja harus putar otak awak.”
Linda tidak mengindahkan ocehan itu sebab dia tahu Asrul hanya mencari perhatian, dia kini menjauh dan memandangi tanaman hijau di bawah lampu papan nama hotel. “Tengok nih mbak, rumputnya sampe kuning gara-gara lama gak turun hujan.” katanya pada Yuli.
Yang menyahut justru Asrul, “Iya. kan udah hampir tiga bulan gak turun hujan. Batam kering, kalo gini terus ya bulan depan bisa-bisa ada penjatahan air bergilir.”
“Di daerah kami tiap siang pun air mati, ya kan, mbak?” Linda menoleh pada Yuli dan menerima anggukan sebagai jawaban. “Apa gara-gara daerah itu padat kali, ya. Dari sejak di sana tiap siang mati terus airnya. "gumam Linda sembari tangannya mengelus-elus daun yang tampak layu di bawah sorot lampu. Percakapan itu berhenti di sana, ketiganya diam sampai Yuli menghabiskan isapan terakhir rokoknya.
“Kami pulang duluan, Rul.”
Puntung rokok di tangan Yuli dilemparnya ke dalam tong sampah kecil di samping pos penjaga lalu berjalan menuju ke halaman tempat dia memarkir sebuah sepeda motor. Meski tampak tua dan butut, motor matic mode lama berwarna merah itu kelihatan bersih dan masih lengkap onderdilnya. Yuli memasang standar ganda kemudian menyalakan engkol motornya dengan mudah lalu memanggil Linda untuk naik.
“Hati-hati di jalan dek Linda!” seru Asrul sambil mengeluarkan kepalanya dari balik pintu pos penjaga, matanya terus mengawasi laju motor yang lambat itu sampai hilang di persimpangan jalan.
***
Tiga rumah petak berdempet di ujung gang sempit di pinggir kota, sebuah pohon jambu air berdiri kokoh di tengah tepat di halaman rumah kedua, tempat Yuli dan Linda mengontrak selama tiga tahun terakhir. Sebelum Linda bekerja di tempat spa dan pijat di hotel Arisa, dia tadinya tinggal di indekos sendirian sementara Yuli yang waktu itu baru datang dari Blitar sempat menumpang di rumah temannya. Tapi setelah keduanya saling kenal beberapa bulan dan menjadi dekat, mereka sepakat untuk mengontrak bersama supaya tagihan lebih murah. Rumah pertama di sebelah kiri ditempati seorang janda beranak satu, warga sekitar memanggilnya Kak Mar. Sehari-hari dia berjualan kue dan minuman ringan yang dijual dalam plastik kecil seharga dua ribuan. Putri tunggalnya berusia sekitar lima tahun, Delima namanya, dia lebih akrab dengan Linda ketimbang Yuli, tiap gajian sering kali dibelikan Linda dia mainan atau baju tidur. Kalau libur pun, tak jarang diajak Linda bocah itu ke tempat wahana permainan anak atau sekadar jalan-jalan di mol. Mar punya pacar dan kerap datang bahkan menginap, seorang sopir angkot, baik Linda maupun Yuli tidak terlalu mengenalnya sebab jarang bertemu dan kalaupun tak sengaja bertemu di halaman, pria berambut gondrong itu biasanya cepat-cepat melarikan diri ke dalam angkotnya dan pergi tanpa menyapa.