Tiga hari berturut-turut hujan deras dan petir gemuruh melanda, dari pagi sampai siang lalu dari malam sampai pagi. Air hujan dan comberan mengalir dari selokan perumahan di bagian yang lebih tinggi turun sampai ke selokan perumahan yang lebih rendah lalu hanyut di parit yang lebih besar, arus deras ikut membawa sampah-sampah plastik dan daun-daun kering yang berguguran diembuskan angin kencang. Yuli menggerutu tiap kali membuka pintu dan menemukan halaman rumah kotor karena penuh daun-daun pohon jambu air yang berjatuhan, terlebih karena tanah yang becek terbilang berlumpur lumayan mempersulitnya untuk bersih-bersih sampai tuntas, tapi tidak ada pilihan selain membersihkannya walau susah payah dan berulang-ulang.
Yuli masih memegang batang sapu lidinya ketika sebuah Avansa putih berhenti di depan rumah Asih, tidak biasanya keluarga mereka datang di hari kerja dan di pagi hari seperti ini. Seorang pria yang kira-kira telah berkepala empat turun dari mobil diikuti istrinya. Mereka adalah anak pertama serta menantu Asih dan Suwito. Keduanya tampak buru-buru masuk ke dalam rumah, sesaat terdengar suara gaduh memancing rasa penasaran Yuli untuk mendekat. Kakinya melangkah maju tanpa sadar, dan tanpa disadarinya, Mar pun sudah berdiri di samping kirinya. “Pak Suwito meninggal, Yul.” bebernya seolah bisa membaca rasa penasaran Yuli.
Kepala Yuli menoleh secepat kilat, ditatapnya nanar Mar dengan ekspresi tak percaya. “Masa, kak? Aku gak tau.”
“Iya. Semalam waktu kau kerja, kau dengar gak suara kilat semalam itu ngerinya kek gimana? Nah, gara-gara itu lah Pak Suwito kena serangan jantung, katanya harusnya bisa diselamatkan tapi istrinya gak cepat-cepat bawa ke rumah sakit," urainya. Mulut, telinga dan matanya memang lihai kalau menyangkut para tetangga.
“Jelaslah, kak. Udah tua begitu gimana mau bawa suaminya.” Yuli berspekulasi mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi.
“Bukan karna itu, Yul. Anak-anaknya udah pada datang semalam tapi katanya Ibu Asih udah pasrah kali, katanya gak usah dibawa ke rumah sakit, biar aja meninggal, ngeri juga ya? aturannya bisa diselamatkan malah dibiarkan aja,” oceh Mar tersulut sedikit kejengkelannya, begitu lugas dia menerangkan sesuatu berdasarkan ‘katanya’ seolah kata itu bisa dipercaya.
Yuli terdiam mendengar apa yang diutarakan Mar, pikirannya berkecamuk dengan segala emosi dan prasangka. Meskipun Asih pendiam dan misterius, dia tahu wanita tua itu teramat mencintai suaminya. Dia yakin benar ada alasan kenapa Asih memilih membiarkan suaminya pergi dengan tenang, tapi Yuli menyimpan segala pikirannya dan menahannya di tenggorokan. Kalau dia sampaikan pun, orang seperti Mar tidak akan mengerti, percakapan mereka akan sia-sia atau justru berubah jadi arena perdebatan yang cuma buang-buang tenaga.
***
Kepergian Suwito entah bagaimana membuat Yuli murung seharian. Dia teringat pada orangtua nya di kampung, keduanya pun sudah renta dan seumuran dengan Asih, tidak banyak juga kegiatan mereka selain bantu-bantu menjaga ternak yang dititipkan orang-orang. Meski kadang pula memaksakan diri untuk ikut berladang walau sekadar bantu-bantu panen sayur, lumayan katanya biar ada jajan untuk cucu semata wayang mereka, Rifki. Terakhir kali Yuli menelepon bulan lalu, ayahnya mengaku nyeri pinggang dan punggungnya yang sudah menahun terasa semakin berat, dibilangnya bahwa keinginannya sudah tidak ada lagi, hanya istrinya alasan dia masih hidup, dia sudah lama pasrah pada ajal. Mengingat ucapan ayahnya waktu itu, Yuli semakin memahami kondisi Asih.
Yuli menyesap rokoknya di ambang pintu sambil sesekali melihat rumah Asih yang gelap gulita, lampu terasnya lupa dinyalakan sebelum dia pergi siang tadi, dia sudah dibawa oleh anak tertuanya ikut ke rumah mereka, belum sempat Yuli mengucap turut berbela sungkawa, rasanya itulah yang lebih-lebih mengganggu pikirannya.
“Mbak, lusa aku libur ya. Gantiin shift- ku ya, Mbak.” Ujar Linda dari dalam kamar, dia tengah membongkar lemarinya, mencari pakaian terbaik yang sudah lama dia simpan sebab memang belum ada waktu yang tepat untuk memakainya.
“Hah? Kenapa?” Yuli sekilas menoleh ke belakang.
“Aku lupa cerita, ya?” Linda balik bertanya sambil berjalan mendekati Yuli membawa beberapa terusan di tangan. “Ingat hari aku kerja di luar kemaren? Hari pertama turun hujan?” Dia hendak memulai ceritanya.
Kepala Yuli mengangguk sambil mulutnya mengembuskan asap rokok ke udara. “Ingat ... Ingat... Terus kenapa?”
“Aku mijat yang punya salon ratu di pasar, terus dia minta aku jadi modelnya karna dia mau ikut kompetisi make up karakter," jawab Linda sembari senyum-senyum sendiri. Dia teringat lagi dengan sosok Aryo yang sudah beberapa hari belakangan menggerogoti pikiran dan lamunannya.
“Kawan kak Mar itu? Yang cakep?” Yuli memastikan yang mereka pikirkan adalah orang yang sama.
“Mbak tau?” tanya Linda terkejut.
“Tau lah, kan salonnya terkenal di sana, aku pun pernah pangkas rambut di salonnya. Pernah juga kami jumpa waktu beli jamu di pasar, sama-sama langganan di situ,” terang Yuli enteng.
“Gimana menurut mbak?” Linda menunggu jawaban Yuli penuh antusias, digigitnya bibirnya tersipu malu. Sedang Yuli menatapnya bingung, alisnya mengerut sesaat sebelum akhirnya dia menangkap gelagat yang tidak biasa, sinyal itu sudah terbaca sekarang.
“Kamu suka sama dia?” tanya Yuli tanpa tedeng aling-aling.
Linda memutar bola matanya dan memajukan bibirnya. Tingkah konyolnya semakin memperjelas dugaan Yuli. “Sedikit, mbak. Tertarik gitu lah bisa dibilang, orang baru kenal juga, kok.” jawabnya akhirnya mengaku.
“Tiga tahun aku kenal kamu dan baru sekarang aku tau kau bisa juga suka sama laki-laki, tapi masalahnya kenapa yang kaya dia?”