CERITA HUJAN KOTA KEMARAU

KUMARA
Chapter #2

PERTEMUAN DUA JIWA

Salon RATU.

Spanduk berukuran jumbo berkibar di atas ruko dan menutupi seperempat bagian depan salon, dilengkapi ilustrasi seorang wanita berparas cantik berambut panjang seolah diterbangkan angin. Salon itu berada dekat pintu masuk kawasan plaza, berbaris menempel dengan ruko-ruko dua lantai lainnya. Warna cat dindingnya dinominasi warna merah muda dan tampak masih baru dicat, lumayan mencolok dibanding ruko lain yang kebanyakan dicat abu-abu putih dan mulai memudar bahkan ada beberapa ruko cat dindingnya sudah mengelupas sebagian. Bagian depan salon berupa setengah dinding tembok dan setengahnya lagi dinding kaca besar yang ditempeli pamflet-pamflet dan poster berisi mode-mode rambut beragam warna yang sepertinya asal ditempel saja untuk menarik perhatian orang yang lalu lalang, sementara dari pintu kaca di bagian kanan depan bisa dilihat suasana di dalam salon meski hanya dari satu sisi, sebuah papan akrilik bertuliskan TUTUP menggantung di atas pintu. 

Mar mendorong pintu kaca seakan hal biasa baginya masuk tanpa sepengetahuan empunya terlebih pintu tidak dikunci, dipanggilnya Linda yang sedari tadi berdiri bengong di teras supaya ikut masuk. “Duduk, aku ke atas panggil dia." ujar Mar sebelum berlari-lari kecil menaiki tangga di bagian dalam ruko. 

Linda duduk di salah satu kursi salon yang cukup empuk, diputar badannya melihat seisi salon. Masing-masing dinding kanan dan kiri menempel tiga buah kaca besar yang nyaris menutupi seluruh tembok, ada tujuh kursi salon berwarna merah tua dan beberapa meja beroda berisi alat pangkas dan catok, bagian pojok kanan dekat tangga tertutup tirai besar berwarna kuning, di sampingnya ditaruh sebuah lemari kaca tinggi berpintu tiga, di dalamnya bisa dilihat ada produk-produk kecantikan tersusun rapi, mulai dari masker rambut, alat-alat rias, sampai kuteks beragam warna dan ukuran, tapi lapisan paling bawah justru ditempati buku-buku tebal dan majalah. Meja kasir justru berada di bagian pojok kiri dalam dan berhadapan dengan tangga, ada dua buah hair steamer di sana. Linda memperbaiki posisi duduknya ketika mendengar suara langkah kaki menuruni anak tangga. Langkah Mar lebih cepat dibanding pria tinggi di belakangnya, dia turun terlebih dulu disusul laki-laki itu kemudian.

Mata Linda melebar melihat pria nyentrik berkaki panjang itu, wajahnya sangat tampan dengan mata kecil yang ujungnya tajam, hidungnya mancung dan bibirnya penuh sedikit kemerahan, alisnya dicukur simetris kanan-kiri dan bulu matanya tebal lentik, kulitnya putih bersih meski agak pucat, di jemari-jemari panjangnya yang juga lentik, dipeluknya seekor kucing berbulu hitam pendek yang senada warnanya dengan sweter dan celana panjang yang dia pakai. Laki-laki itu mengingatkan Linda dengan penyanyi dari grup idola Korea yang kadang dilihatnya di TV atau sosial media. Begitu lain pesonanya dari kebanyakan pria yang pernah dia jumpai, dibilang begitu feminin tidak tapi disebut maskulin juga tidak.

“Lin, ini Aryo, yang punya salon ini," kata Mar menengok Linda dan Aryo bergantian.

Linda beranjak dari kursi dan menyambut uluran tangan Aryo, dalam hatinya dia memuji betapa lembutnya telapak tangan pria itu. “Aryo...” Suaranya meski pun terdengar lembut tapi masih rendah seperti suara kebanyakan pria. “ini Nyai.” Ditunjuknya kucing hitam yang setengah tertidur di pelukan tangan kirinya, seekor kucing hitam bernama Nyai, entah bagaimana menjadi sebuah kombinasi yang tepat sekaligus absurd. Linda tersenyum canggung karena bingung harus merespons bagaimana, dia sampai lupa untuk menyebutkan namanya.

“Dia tetanggaku, biasa mijat di hotel. Itulah baru ingat tadi aku buat nanya karna kau udah lama cari tukang pijat.” Untungnya Mar mencairkan kecanggungan hebat itu, dia beralih menatap Linda karena harus buru-buru pamit. “Aku pulang, ya. Anakku nunggu di rumah, takut kenapa-napa nanti dia. Tau jalan pulang, kan?”

“Iya tau kak, nanti aku bisa pulang sendiri.” 

“Ya udah. Aku pulang, ya!” Mar mengelus kepala Nyai sebelum dia berlalu keluar.

“Hati-hati di jalan!” Sempat Aryo berpesan sebelum Mar menghilang sepenuhnya dari balik pintu kaca. Suasana canggung kembali menyelimuti Linda setelah Mar pergi, hanya sesaat tadi hatinya lega. Baru kali ini dia merasa berbeda padahal sudah beribu klien yang dia jumpai dan dia pijat hampir setiap hari, seharusnya kali ini bukan lah sebuah tantangan. 

“Mau langsung?” tanya Linda sambil mengambil tas tentengnya yang tadi dia taruh di kursi.

“Boleh.” Jawab Aryo pendek sembari meletakkan kucingnya di atas salah satu kursi. "Ayo ikut,” kemudian dia berjalan di depan Linda menaiki anak tangga. Mata Linda tidak bisa beralih dari pantat Aryo yang berlenggak-lenggok di depan matanya sementara Aryo sepanjang jalan terus mengajaknya bicara. “Agak maklum kalo rumah saya berantakan, pembantu lagi mudik, karyawan juga saya liburkan karna ada kompetisi yang mau kami ikuti bareng-bareng minggu depan, banyak urusan kepala mumet badan jadi sakit-sakit... Oh iya kalo mau minum bilang ya, saya pesankan gojek. Nanti sebelum pulang juga saya belikan makan, kamu pikirin dulu mau makan apa dari sekarang jadi nanti gampang pesannya.” Kalimat panjang itu hanya dibalas Linda dengan gumaman-gumaman pendek.

Apa yang dikatakan Aryo tentang rumahnya tidak benar sama sekali. Linda sampai berdecak kagum menyaksikan betapa cantik dan mewah lantai dua ruko yang disulap jadi living room bernuansa hitam itu, suasananya begitu kontras dibanding dengan lantai dasar seakan berada di dua tempat berbeda. Sofa, karpet, meja kayu sampai lemari TV yang bermerek seluruhnya berwarna gelap dan tersusun rapi hingga sedap dipandang. Jendela di sisi kiri terbuka lebar agar sirkulasi udara lancar, tiap-tiap sudut ditaruh sebuah pot kecil dan sedang berisi tanaman dalam ruangan seperti Andong Micro dan tanaman Kuping Gajah Daun, cukup sebagai penyejuk mata sekaligus pembersih udara. Dinding dicat kontras berwarna putih dan tidak banyak dekorasi selain sebuah lukisan pemandangan sawah yang cukup besar di satu sisi dinding, begitu kontras dan mematahkan konsep hitam ruangan itu, anehnya bisa tetap terlihat menawan. Linda makin yakin kalau Aryo bukan pria sembarangan, singkatnya dia punya selera dan tahu apa yang dia mau, tentu pula pria muda itu tahu cara menikmati uangnya.

Lihat selengkapnya