Rania membuka mata memandang lelaki di sampingnya, udara dingin masuk melalui celah jendela kaca yang terbuka, pelan titik hujan menyentuh atap rumah menciptakan suara menenangkan, namun tidak menyenangkan.
Rania masih terpaku pada lelaki tanpa busana di sampingnya, masih berusaha mencerna setiap peristiwa lalu mengolahnya sebagai sebuah kata, namun Rania tidak bisa, dia seolah kehilangan suara.
Pelan mata lelaki beralis tebal itu terbuka. Rania menarik selimutnya hingga menyentuh mata.
Lelaki itu pun sama, kehilangan suara setelah menatap ke arah Rania. Mulutnya terbuka namun menutup kembali. Lelaki itu mengusap wajah memeluk lutut dengan kepala tertunduk dengan selimut tebal menyelimutinya.
Rania menangis namun tanpa suara, hujan menjadi kian deras, seolah kesedihan Rania telah diambil alih olehnya. Rania membalikan badan, menatap jendela yang berada tepat di samping ranjangnya, pohon mangga terlihat kelelahan di guyur hujan daunnya bergoyang tak beraturan.
Hening yang menyiksa, namun di antara mereka tidak ada yang mampu mengolah kata-kata. Angin menghempaskan berkali-kali daun jendela, seolah berusaha memecah hening yang ada, namun tidak bisa. Suasana masih tetap sama, sampai akhirnya lelaki itu bangkit dari duduknya dan meraih satu persatu pakaian yang tergelatak di lantai tak beraturan, kamar yang benar-benar berantakan.
"Aku..."
Hening di antara mereka pun pecah oleh suara lirih lelaki itu.
"Aku pulang."
Rania tidak menjawab, dia masih kehilangan suara, menatap lelaki itu pun tak bisa.
"Besok kita bicarakan di sekolah,"
ucapnya kemudian, Rania memejamkan mata.
Suara pintu di tutup, hening kembali terjadi. Rania kini sendiri.
****
"Rania dan Nabil satu kelompok,"
ucap wanita dengan jilbab merah muda yang ada di depan mereka.
Rania yang sedari tadi asik memandang keluar jendela mengalihkan tatapannya pada lelaki yang duduk di depannya, lelaki bernama Nabil itu menoleh dan tersenyum tipis, sejak kejadian kemarin Rania masih belum berbicara padanya.
"Enak banget sekelompok sama pacar."
Riri yang duduk di samping Rania menyenggol sambil tertawa. Rania menunduk menatap lembaran buku yang masih kosong. Sekosong pikirannya saat ini.
"Riri dan Anissa."
"Dira dan Doni. "
"Selsa dan Arda. "
Wanita berjilbab merah muda itu kembali membacakan catatan yang ada di tangannya.
"Di kumpul minggu depan, tapi Ibu harap kalian sudah mulai ngerjakan hari ini biar cepat selesai."
Lanjut wanita itu lalu meletakan lembaran buku ke atas meja.
"Siaap bu."
Jawab seluruh murid yang ada di kelas serentak, kecuali Rania, mulutnya masih terkunci, Riri yang berada di samping menatap heran.
Lonceng berbunyi saat jam menunjukan tepat pukul 15:00, seluruh murid bersorak, wanita berjibab merah muda meraih tumpukan buku yang ada di atas meja lalu berjalan keluar kelas. Waktu pelajaran berakhir.
"Lu sakit?"
Riri menyentuh bahu Rania, gadis berambut sebahu itu menggeleng pelan.
"Lu kelahi ya sama Nabil?"
Tanya Riri lagi namun dengan suara lebih pelan, matanya menatap Nabil yang terlihat tengah memasukan beberapa buku ke dalam tas.
"Ran?"
Riri menaik turunkan tangannya di depan wajah Rania, membuat gadis itu akhirnya menoleh menatapnya.
"Gue mau cerita sama lu Ri, tapi jangan bilang sama siapa-siapa ya,"
ucap Rania, dengan cepat Riri menganggukan kepala.
"Gue sama Nabil..."
"Ran... Aku mau bicara."
Nabil berdiri di samping Rania, Rania menoleh, menarik napas dalam lalu mengembuskan pelan. Rania berbalik menatap Riri.
"Gue pergi dulu ya Ri,"
ucap Rania, Riri menganggukan kepala dan tersenyum. Rania berdiri setelah membereskan sejumlah buku yang ada di atas meja.
Riri memperhatikan kedua pasangan kekasih itu sampai akhirnya mereka menghilang di balik pintu kelas.
****
"Jangan bilang siapa-siapa ya Ran."
Nabil memohon. Mereka duduk di taman yang ada di samping sekolahan.
"Aku takut di marahin Umi sama Abi."
Suara Nabil bergetar, Rania tertunduk menahan tangis yang sama.
"Tolong ya Ran, aku sayang sama kamu aku pasti tanggung jawab."
Nabil kembali berucap.
"Aku takut hamil."
Rania mengangkat kepala memandang Nabil.
"Apa pun yang terjadi sama kamu aku tanggung jawab Ran, tapi jangan dulu bilang sama siapa-siapa."
Nabil memegang tangan Rania, membuat air matanya seketika tumpah.
"Termasuk sama Riri."
"Kamu sayang 'kan sama aku?"
Tanya Rania sambil terisak. Nabil berusaha menenangkan dengan menghapus air mata yang menetes membasahi pipi Rania.
"Sayang Ran, aku sayang banget sama kamu."
Rania tersenyum tipis, lega, seperti ada ribuan bunga yang kembali tumbuh dalam hatinya.
"Kita hadapi ini berdua."
Nabil mempererat pegangan tangannya. Rania kembali tersenyum.
"Aku pasti, benar-benar pasti nikahin kamu suatu hari nanti."
Rania menoleh menatap Nabil, lelaki beralis tebal dengan garis senyum yang tipis itu, benar-benar membuatnya jatuh cinta.
"Janji?"
Rania menyodorkan jari kelingkingnya, Nabil tersenyum dan mengaitkan jari kelingking pada kelingking Rania.
"Janji, aku gak bakalan ninggalin kamu.
Janji, aku bakalan nikahin kamu.
Janji, aku akan ngebahagiain kamu."
Satu ciuman mendarat di pipi Nabil, Rania tertawa, kemudian Nabil memeluknya erat, sangat erat.