Hari-hari saat pandemi itu datang.
Lalu lalang orang yang tak selesai. Keramaian yang bergerak tak diam. Pada sebuah kota metropolitan, Jakarta. Aktivitas tak bisa ditunda meski ruang gerak dibatasi. Tak ada yang lebih penting dibanding mengejar kebutuhan untuk tagihan–tagihan yang harus dibayar dan mengisi perut yang lapar setiap hari. Memang begitu, hidup tak bisa dihentikan meski kau sedang sedih, bahagia, ataupun dihadang pandemi sekalipun, hidup akan jalan terus.
Terus, kau mau apa dalam kondisi yang menekan seperti ini? Diam menangisi kesedihanmu untuk membiarkan hidup menggilas lalu meninggalkanmu? Atau maju bergerak melawan untuk sebuah perubahan?
Perhatikan, trotoar di jalan protokol yang sibuk itu, selalu dipenuhi berbagai macam orang berjalan tergesa-gesa. Seperti dua puluh empat jam tidak cukup. Ada orang-orang kantoran dari gedung-gedung mentereng di kiri kanan jalan, ada orang-orang yang sedang mencari pekerjaan, ada juga mahasiswa, tukang asongan, pekerja bangunan dan banyak lagi.
Well, hidup memang berat dan tak mudah. Perhatikan, apakah mereka diam berharap mati perlahan? Tidak, sekali-kali tidak.
“Coba lihat Yoona. Berbagai orang berjalan bergegas seakan hari terbatas, bergerak tergesa–gesa mengejar waktu. Tampak seperti semua baik–baik saja, tapi apakah begitu? Tak ada yang tahu penderitaan di balik masker-masker penutup wajah itu. Apakah mereka habis menangis semalaman? Apakah tadi pagi mereka baru saja mendapat kabar buruk? Apakah hari ini akan berjalan baik? Tidak ada yang tahu. Kuyakin kita semua bergelut dengan masalah hidup yang tak nampak di mata orang lain. Kita memiliki beban hidup yang sama, jenis bebannya saja yang berbeda, tapi mereka tetap bersemangat.”
Seorang perempuan muda bernama Yoona sedang berbicara dengan dirinya sendiri di pelataran sebuah gedung perkantoran menatap lalu lalang orang di trotoar yang tak jauh di depannya. Berdiri dengan mengapit map di pangkal lengan kanannya pada sore hari yang mendung. Yonna mendesah, it’s such a gloomy day, lirih hatinya. Ia mendongak memandang awan mendung yang tak bergerak.
“Harapan semendung awan abu–abu. Harapan untuk hidup lebih baik, apakah hanya menggantung di awan–awan? Apakah salah untuk berharap banyak, berekspektasi tinggi? Meski akhirnya mengecewakan. Aku yang terus berupaya, dan berharap banyak tapi malah aku yang sering gagal. Menyebalkannya, kadang mereka yang tidak berharap dan tidak berupaya banyak terkadang mendapatkan jalan yang mudah. Huh! Jenis kehidupan apa yang sedang aku jalani ini?”
Yoona teringat akan pagi tadi.
Saat ia begitu bersemangat.
Saat harapan meninggi.
Ia berangkat dari rumah berbekal percaya diri yang penuh. Berharap tinggi akan datangnya kesempatan baik di hari ini. Persiapan serius yang telah dilakukannya berhari lalu menjadi modal untuk keyakinan yang besar. Yoona sampai di lokasi yang dituju. Setelah turun dari busway, ia melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri trotoar menuju sebuah gedung perkantoran.
Berjalan dengan kepala tegak, kakinya melangkah yakin, senyum terkembang di balik maskernya dengan kedua matanya tak henti memandangi satu persatu orang yang berpapasan dengannya. Seorang pria berkemeja lengan panjang berwarna biru muda dengan tas terbuat dari kulit diselempangkan di bahu, bercelana katun coklat muda dipadu padan dengan sepatu kulit hitam mengkilap, berjalan terburu–buru melewatinya menghamburkan parfum elegan yang bukan isi ulang. Pastinya seorang pria muda sukses yang bekerja pada salah satu perusahaan bergengsi di gedung jalan protokol ini. Di arah yang berlawanan dengannya, tampak seorang wanita berpakaian rapih menarik, dengan masker yang berwarna senada dengan blazer yang dipakainya, mengapit tas bermerk dengan rambut dipotong pendek, berjalan penuh percaya diri. Langkahnya satu–satu mantap dijejakkan. Seorang wanita muda dengan karir cemerlang melewatinya untuk segera menaiki mobil mewah mengkilap yang telah menunggunya.
Di belakang wanita tadi nampak pria muda berpakaian kemeja putih dengan celana katun hitam sedang berdiri tercenung di pinggir trotoar, matanya menatap kosong jalan raya dengan berkali–kali mengusap rambutnya yang jatuh di dahi. Di tangan kirinya tampak sebuah map yang diapit. Ia menyandarkan punggungnya pada tiang lampu jalanan, membuka maskernya sebentar untuk menghelakan nafasnya yang terdengar sesal. Tampak sekali ia ingin meluapkan apa yang ada di dalam dadanya. Tumpukan kekecewaan yang telah menggunung setelah mendapatkan banyak penolakan. Yoona melirik saat melewati pria muda ini, hatinya mendadak gelisah, semoga ia tak bernasib sama dengannya, ucap doa kecil di dalam hatinya.
Berjalan beberapa saat, Yoona melihat seorang pria tua berambut putih yang berjalan kerepotan membawa berbagai macam peralatan kebersihan di kedua tangannya. Tangan kanannya membawa sebuah ember plastik beserta tongkat pel sedang tangan kirinya membawa dua sapu lidi yang cukup besar. Di depan pria tua itu lewat serombongan orang yang berpapasan dengannya, satu dari mereka menyenggolnya hingga membuat tongkat pelnya terlepas dari tangan. Pria tua berambut putih itu menghela nafas, menghentikan langkahnya. Tidak ada seorang pun dari rombongan orang itu memedulikannya. Mereka terus saja berjalan melewati orang tua malang itu. Yoona menggeleng lalu segera menghampiri untuk membantu pria tua tersebut dengan mengambilkan tongkat pelnya yang jatuh.