Cerita Kita Hari Ini Tak Harus Indah

ken fauzy
Chapter #2

Harinya Indah Tapi Hatinya Kacau

Pernahkah kau bangun pagi dengan perasaan bosan dengan hidup yang kau jalani?.

Bosan dengan pekerjaan yang tidak sesuai hati tapi harus kau lakukan setiap hari karena kau butuh uangnya untuk membayar tagihan dan cicilan?. Bosan dengan rute dari rumah ke kantor yang lewat jalan itu–itu saja hingga kau hapal ada berapa lampu merah yang kau lewati, ada berapa pos polisi, ada berapa warung rokok dan ada berapa galian lubang yang ga ditutup lagi. Bosan dengan harus selalu menyapa dan tersenyum pada orang–orang padahal kau sedang tidak ingin?. Bosan setiap hari harus selalu mengejar uang, apa–apa harus uang, selalu uang dan uang lagi. Merasa tidak memiliki energi, merasa sendiri, tidak berdaya dan mati rasa. Kalau kau pernah atau malah sedang mengalaminya, itu tandanya kau sedang kacau.

Alarm berbunyi nyaring.

Ia mengutuk bunyinya yang keras mengagetkannya dari tidur lelap, padahal dia sendiri yang pasang alarmnya. Mengucek–ngucek mata, meregangkan tubuh seregang-regangnya, ah ini ritual pagi yang nikmat, iya kan? Lalu memaksa tubuh untuk bangun berangkat kerja, ini yang ga nikmat. Ke kamar mandi membuang air seni yang ditahan semalaman. Berkaca. Melihat betapa kusut rambutnya, wajahnya apalagi hidupnya. Menyedihkan, katanya sendiri. Memutar lagu “Beautiful Days” nya U2 dari telepon genggamnya lalu ke dapur menyeduh sereal sachetan yang katanya memberikan energi. Ini lagu himne juga sarapan wajibnya setiap pagi.

Mereguk sereal sembari melihat foto-foto di galeri telepon genggamnya. Pada salah satu foto, jarinya yang menggeser berhenti. Ia membaca tulisan ‘forever’ lalu menatap fotonya memandangi lama sebuah wajah, hanya ini yang bisa membuatnya tersenyum. Ia tutup galeri fotonya, melihat keluar jendela, matahari belum muncul, mendung masih menggantung. Ia mendengus malas, tapi tetap harus berangkat kerja juga, mau bilang apa. Pegawai level biasa, tidak punya jabatan, ya begitu, harus patuh kalau mau selamat. Setelah berbulan bekerja dari rumah akibat dampak pandemi yang menimpa bumi, kini ia harus kembali masuk bekerja dengan suasana kenormalan yang baru, malas rasanya. Kalau bisa dikerjakan dari rumah, kenapa harus datang ke kantor? Kalau bekerja di rumah bisa lebih produktif, kenapa harus datang ke kantor hanya untuk sebuah kehadiran fisik? Tidak efektif, buang – buang ongkos, membuang waktu, gerutunya dalam hati.

Ia meletakkan cangkir berisi sereal tadi yang telah habis tandas diteguknya, sebuah kepraktisan atas nama sarapan yang bisa diminum di abad dua satu. Ia menyikat giginya, mencuci mukanya lalu berganti baju tanpa mandi. Semprotkan saja minyak wangi di setiap sudut tubuh yang membutuhkan, dan? Beres. Tidak bisa berlama lagi karena hari ini ia tidak boleh datang terlambat, setelah mendapatkan peringatan yang ke tiga kali. Ia mengambil telepon genggamnya, memasang earphonenya di telinga, juga memakai masker penutup mulut dan hidung lalu keluar dari kamar kontrakan, menyusuri gang-gang padat penduduk menuju halte bus terdekat.

Lalu vokalis U2, Bono, berteriak di gendang telinganya, “It’s a beautiful days!”

Ye dah, beautiful day kata lo No, beautiful day apanya, gerutu dirinya sendiri pada lagu yang diputar. Ia telah sampai di halte bus, tepat saat bus tujuannya tiba. Setelah mengantri dengan jarak yang aman, ia pun melompat masuk ke dalam bus. Meski isi bus tidak penuh seperti biasanya karena aturan pemerintah untuk mencegah penularan virus, tetap saja ia harus berdiri berhimpitan dengan penumpang lainnya dengan kursi-kursi pun terisi penuh. Aturan sekadar aturan. Kedisiplinan memang jadi barang mahal di negeri ini. Ia tidak bisa mengeluh lagi, ia hanya bisa menyempilkan diri di antara himpitan. Virus demen nih sama yang dempet-dempetan kek gini, gumamnya dalam hati.

Lihat selengkapnya