Beberapa waktu sebelum pandemi datang.
“Nona Yoona Naira?”
Terdengar suara panggilan dari balik loket.
Yoona mengangkat kepalanya mendengar namanya dipanggil lalu menuju loket tersebut. “Berapa?” tanya Yoona. “Dua ratus lima puluh ribu, aturan pakainya sudah tertulis di situ ya,” jawab pria yang berada di balik loket. Yoona membuka dompetnya, tidak tersisa banyak lagi uangnya di situ. Mana hari masih jauh dari gajian lagi, bisik Yoona dalam hati. “Ehem!” pria dari balik loket itu berdehem membuat Yoona tersadar. “Oh iya, ini Mas…” ujar Yoona nyengir seraya menyerahkan uangnya.
Setelah membayar dan menerima satu plastik berisikan obat, ia menghampiri ibunya yang menunggu di kursi. “Ayo Bu, sudah, kita pulang sekarang,” ujarnya. “Berapa nebus obatnya? Pasti mahal…” kata ibu seraya menggandeng lengan putrinya itu. “Ga kok, ga mahal…yang penting Ibu sembuh,” jawab Yoona. “Ibu sudah bilang ke puskesmas yang deket rumah aja sih, eh kamu malah maksa Ibu ke rumah sakit ini, berobat di rumah sakit itu mahal tahu, lagipula kan ini tanggal tua kamu pasti belum gajian,” sahut ibu.
Yoona tertawa, “Ga apa–apa Bu, masa aku membawa Ibuku yang cantik ini berobat ke puskesmas sih…apa kata dunia akhirat nanti.” Ibu mendecak, berkata, “Halah, Ibu ga apa–apa kok ke puskesmas…Yoon, kalau hidup itu jangan gengsian, jangan maksakan…apa adanya saja…jadi ga berat…”
Yoona mengangguk–ngangguk, yang ibu katakan memang betul. “Tapi untuk pengobatan Ibu, aku pasti maksakan yang bagus dong meski itu mahal,” kata Yoona. “Lha wong, Ibu hanya flu dan batuk–batuk aja kok, ke puskesmas juga cukup,” balas ibu lagi.
“Hanya flu dan batuk aja ngabisin dua ratus lima puluh ribu loh, apalagi jantung,” cetus Yoona bercanda. Wajah ibu berubah menjadi terkejut, matanya melotot, “Ealah! Dua ratus lima puluh ribu?! Ibu cuma ditanya–tanya sama dokter terus diperiksa pakai stateskop doang sampai dua ratus lima puluh ribu?? Rumah sakit opo iki…tau mahal, mbok jangan ditebus obatnya Yoon…”
Yoona tertawa sambil memeluk ibunya.