Jakarta – 2021
Toko Kopi Pagi Ini
Suara mesin kopi memenuhi area bar di tengah ruangan. Sekumpulan individu berjaket hijau setia menunggu di ujung meja yang bertuliskan “Ambil di Sini”. Mereka asyik mengobrol sambil sesekali melirik HP.
“Atas nama Cinta!”
Mendengar pesanannya dipanggil, salah satu pasukan hijau mendatangi meja.
“Mbak, yang pesen minta kopinya ditulisin.”
Barista ber-name tag Icha mengambil spidol dari bawah meja.
“Makasi udah ngertiin aku. Semangat, ya! Dari Rangga. Kasih lope lope, Mbak.”
Setelah bapak itu pergi, Icha memanggil nama lainnya.
“Atas nama Tita!”
“Ditulis juga, Mbak.
Aku bukannya galak. Aku cuma bingung kalo di depan kamu. Love you. Dari Adit. Sama gambarin menara Eiffel.”
Icha dengan cepat membuat Eiffel tower lengkap dengan bintang dan banyak gambar hati, di belakang gelas plastik berisi chocolate milkshake tersebut.
Puas dengan pesanannya, bapak itu memberikan jempol sebelum pergi ke motornya.
Setelah semua pesanan selesai dan kumpulan jaket hijau menghilang, Icha kembali ke mesin kopi. Beberapa customer regular yang duduk di bar stools menyapanya. Icha berbincang sedikit sebelum membuatkan pesanan mereka.
Saat mendesain coffee shop ini Surya menginginkan suasana yang hangat, dengan memadukan lantai granit berwarna dark grey dengan dinding bata expose. Pada salah satu sisi dinding dipajang foto kedai kopi ini dari generasi ke generasi, yang dicetak hitam putih dalam bingkai coklat tua.
Surya sengaja memilih kursi rotan coklat muda, seperti yang digunakan Mbah Kakung di kedai yang sebelumnya. Sofa-sofa di sudut ruangan menggunakan warna light grey, agar match dengan warna top table semua meja. Tapi Kala memberikan beberapa bantal warna-warni supaya ruangan ini tidak terlalu monoton.
Saat sedang menuang susu ke milk jug, seorang barista dengan name tag Yudhi mendekatinya.
“Cha, gue pinjem duit, dong. Pek go1 aja. Nanti abis gajian gue ganti.”
“Yah, gue juga lagi pas-pasan.”
“Gajian masih lama, ya?” Keluh Yudhi sambil memasukkan bubuk kopi ke portafilter.
“Minggu depan, Yudhi.” Kala masuk ke area bar dan mengambil tamper di atas meja “Tapi kalo butuh buru-buru, mau pake duit gue dulu?”
“Eh, nggak usah, Kal. Masa pinjem duit lo. Tapi ... kalo dipaksa sih gue nggak nolak.”
“Mbak!” Surya berdiri di ujung ruangan. Memberikannya isyarat untuk cepat kembali.
Kala mengangguk sambil meletakkan uang seratus ribu di samping mesin kopi, “Tapi gue cuma punya segini.”
“Ini aja udah cukup banget. Makasi ya, Bu Boss.”
Uap steam menutupi wajah Icha. “Buat apaan sih, Yud?”
“Pacar gue mau ulang tahun. Dia udah kode-kode minta dibeliin kado. Tapi apa ya?”
“Mbak Kala! Cepet!” Surya kembali memanggil namanya.
“Iya, Pa. Bentar.” Ucap Kala tanpa suara.
“Cewek itu dikasih apa aja seneng, Yud. Tiket nonton date pertama aja masih kita simpen. Iya nggak, Cha?"
Icha mengangguk mantap. "Yang penting ikhlas ... dan mahal."
Kala tertawa sebelum kabur ke arah Surya.