Cerita Kopi

Annisa Diandari Putri
Chapter #4

Comfort Zone

Ceritanya Cerita Kopi

Tinggal di samping coffee shop itu ada pro dan kontra-nya. Apalagi jika kamu juga bekerja di sana. Saat Kala lulus kuliah empat tahun lalu, dia resmi bekerja secara full time dan digaji seperti karyawan lainnya. Tidak ada ceritanya terlambat masuk kantor, karena Tiwi akan selalu membangunkan Kala pukul lima pagi.

Hari ini Kala memilih wide pants abu-abu dengan sweater tosca lengan panjang. Tidak lupa gelang warna-warni yang selalu dia pakai. Rambutnya yang dipotong short layered dicatok sedikit agar ujungnya tidak keluar. Sejak bekerja di “Cerita Kopi”, Kala merasa rambut pendek lebih cocok untuknya.

“Kal, cepet ke sini.” Sebuah voice note dari Tiwi masuk ke HP-nya.

Sebelum pergi, Kala melihat penampilannya sekali lagi di cermin. Yang mencolok darinya memang tinggi 172 cm-nya dan bulu mata panjang tanpa mascara sekali pun. Setelah puas, dia mengunci pintu depan dan siap untuk bekerja.

Selama berpuluh-puluh tahun, setiap keturunan keluarga Surya diberkahi sebuah “kemampuan” istimewa. Anak pertama yang lahir dari keluarga ini, mampu membuat ramuan yang dapat mengabulkan permintaan orang lain.

Ketika Mbah Canggah menyadari “kemampuan"-nya lewat mimpi, beliau memilih kopi sebagai media perantara. Salah satu warisan yang diberikan saat beliau meninggal adalah setumpuk buku resep, dengan formula berbeda untuk setiap jenis keinginan. Semua beliau racik sendiri selama bertahun-tahun. Juga sebuah petuah,

“Ora kabeh uwong pantes ditulungi.” 1

Tapi ... Kala memiliki “kemampuan” special yang tidak dimiliki oleh keturunan sebelumnya. Selain “kemampuan” Kala untuk meracik ramuan seperti pendahulunya, ada “kemampuan” lainnya yang hanya diketahui keluarga dan dua sahabatnya.

 

Anak Band

Jika kamu sedang memiliki masalah dan datang ke "Cerita Kopi", kamu dapat melihat sesuatu di ujung menu board. Menu yang tidak dapat dilihat oleh orang yang sedang dalam keadaan baik-baik saja. Seperti laki-laki ini contohnya.

“Bu, menu special itu apa?”

Di depan Tiwi berdiri seorang anak SMA, masih dengan seragam putih abu-abu. Teman-temannya yang lain sudah memesan dan duduk di sofa dekat jendela.

“Kamu mau?”

“Coba deh. Biar beda sama yang lain.”

Tiwi membuka pintu lemari di bawah meja kasir. Di dalamnya terdapat beberapa gelas biru dan sebuah water pitcher bening.

“Kamu minum dulu. Nanti bisa pesan dan bayar di pintu yang belakang itu ya.”

Air putih ini merupakan salah satu resep di buku warisan Mbah Canggah. Gunanya untuk membuat peminumnya bercerita secara jujur, tentang masalah dan apa yang sedang dia inginkan. Bahasa kekiniannya, air ini memberikan consent untuk bercerita dan dibantu.

Ini membuat pemilik “Cerita Kopi” bisa memutuskan dengan tepat apakah orang tersebut pantas dibantu atau tidak.

Laki-laki itu menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk dan beranjak ke pintu kayu. Kasir dan area bar sengaja dibuat terpisah, agar barista tidak mengetahui tentang menu special.

“Permisi ...”

Wajah laki-laki ini terlihat sangat polos, dengan rambut ikal pendek yang berantakan. Seragamnya memang sudah keluar dari celananya, tapi masih terlihat bersih.

Kala mengangguk. “Hai, ada yang mau kamu ceritain?”

“Aku suka sama temen aku. Tuh, orangnya di depan.” Jawabnya dengan cepat.

“Terus?” Sungguh cerita yang menarik di hari pertama dia melayani customer.

“Tapi aku nggak tahu dia suka juga atau nggak. Soalnya tiap aku PDKT, dia nggak ngerespon. Biasa aja.”

“Kenapa kamu suka sama dia?”

“Dia cantik, udah gitu setiap ngobrol sama dia pasti seru. Aku suka ngeliat dia ketawa, manis banget sampe bikin ilang fokus. Terus gara-gara dia suka Sheila On 7, aku jadi dengerin ulang semua lagunya dari album pertama.”

Cinta saat remaja dalam bahasa inggris istilahnya puppy love. Karena biasanya menggemaskan seperti puppy atau anak anjing. Tapi kenapa di Indonesia disebut cinta monyet? Apa yang menggemaskan dari monyet?

“Jadi kamu mau apa?” Pertanyaan basa basi karena jawabannya sudah pasti.

“Aku mau bisa main gitar.”

Lihat selengkapnya