Kewajiban Menantu
Siang mulai lewat. Customer yang ada di ruangan belakang adalah salah satu tetangga Surya saat masih di Solo. Tapi Surya ingin menerimanya sendiri dan menyuruh Kala untuk keluar dahulu. Sambil menunggu Om ini selesai “konsultasi”, Kala mengobrol dengan Tiwi yang sedang tidak banyak antrian. Tidak berapa lama setelah Om itu pulang, Surya keluar dari ruangan dengan tergopoh-gopoh.
“Wi, Bapak minta dianter ke rumah sakit. Katanya dia pusing terus matanya kunang-kunang.”
Bapak yang dimaksud Surya adalah mertuanya, alias Ayah Tiwi, alias Eyang Kakung Kala.
“Aduh, Bapak. Aku udah bilang buat periksa ke dokter, tapi Bapak selalu ntar-ntar. Kayaknya gula darahnya tinggi lagi. Aku ikut ya.”
“Kamu di sini aja. Bapak udah aku suruh tiduran sambil nunggu aku dateng. Nanti aku kabarin kalo kamu perlu ke sana.” Surya mengambil kunci mobil dari laci meja kasir. “Mbak Kala, jangan terima tamu dulu. Tunggu Papa balik. Kamu beresin aja ruangannya.”
“Iya, Pa.”
Setelah Surya pergi dengan mobil hitamnya, Tiwi langsung menelfon Eyang dan Kala bergegas ke ruangan belakang. Gelas bekas customer sebelumnya dan mesin kopi belum sempat dibersihkan Surya.
Kala meletakkan gelas yang sudah dicuci di ambalan atas. Malas untuk keluar ruangan, dia memutuskan untuk mempelajari beberapa resep yang ada di dalam buku. Keuangan yang lebih baik, kemampuan berkomunikasi, permintaan maaf, restu orang tua, percintaan, dan banyak lagi resep ramuan yang lainnya.
Surya pernah bercerita. Seiring dengan perkembangan zaman, ramuan di dalam buku ini juga bertambah. Karena permintaan orang menjadi semakin aneh dan beragam. Jadi di antara beberapa buku ini terdapat juga ramuan racikan Mbah Buyut, Mbah Kakung, dan Papa. Mungkin nanti Kala juga akan menuliskan resepnya sendiri. Dari dua buku yang awalnya diwariskan oleh Mbah Canggah, sekarang sudah berkembang menjadi sembilan buku.
Anehnya, hanya mereka yang memiliki “kemampuan” ini yang dapat membacanya. Pernah satu kali Tiwi ingin melihat apa yang suaminya kerjakan, tapi dia tidak bisa melihat tulisan apa pun di dalam buku ini.
Juara Pertama
Matahari beranjak turun saat Surya mengabarkan jika sepertinya dia tidak akan kembali ke “Cerita Kopi” hari ini, karena Eyang akan di-opname dan dia harus mengurus semuanya.
“Bapak nggak parah, Wi. Kamu besok aja ke sininya.
Bilang Kala, suruh ngunci lemari sama ruangan belakang. Terus kuncinya kamu bawa pulang. Nanti kalo Bapak udah bisa ditinggal, aku mau jemput Ibu, baru pulang ke rumah.”
Tepat saat Kala mengambil kunci untuk mengunci ruangan belakang, datang seorang perempuan yang menanyakan menu special. Hari itu mereka sudah menolak beberapa orang, tapi Kala melihat wajah perempuan ini sangat menyedihkan. Concealer tidak dapat menutupi matanya yang merah dan sedikit bengkak. Bibirnya yang dilapis lipstick pink tetap terlihat pecah-pecah. Rambut panjangnya memang diikat low ponytail, tapi anak rambutnya terlihat keluar-keluar. Dan dia tidak peduli untuk merapihkannya.
“Bentar ya, Mbak. Kami cek dulu.” Ucap Kala cepat.
Kala menarik tangan Tiwi untuk berbicara berdua.
“Ma, customer yang ini aku terima aja ya. Kasihan mukanya kaya gitu.”
“Emang kamu bisa? Kata Papa kan nggak boleh terima tamu dulu. Nanti kalo kenapa-kenapa gimana? Pasti Mama yang kena omel.”
“Ya ... Mama jangan bilang-bilang Papa. Lagian kan ini bisa jadi latihan buat aku ngelayanin customer sendiri. Ya ... boleh ya ... jadi rahasia berdua aja.”
Apa mungkin, Tiwi akan menolak jika melihat wajah anaknya yang memelas seperti ini?
“Ya udah. Tapi Mama telfon Papa dulu. Kalo Papa udah jalan ke sini, tamunya kamu suruh pulang ya.”
“Oke!”
Kala mengajak perempuan itu masuk ke ruangan belakang. “Tunggu sebentar ya, Mbak."
Perempuan tersebut menggoyang-goyangkan kakinya dengan gelisah. Sesekali membereskan anak rambutnya yang turun-turun menutupi dahinya.