Mari Lari
Jam menunjukkan pukul 05:30 pagi. Tiwi sedang membuat sarapan di dapur ketika Surya sudah bersiap untuk lari pagi. Tepat saat Surya selesai memakai kaus kaki, terlihat Kala keluar dari kamarnya.
“Tumben kamu udah seger."
Biasanya pada jam segini Kala masih menggunakan piyamanya. Tapi pagi ini berbeda, Kala sudah menggunakan kaus dan jogger pants berwarna hitam.
“Semalem aku abis lihat orang olahraga di Youtube. Jadi aku mau ikutan Papa jogging.” Sebetulnya otak Kala butuh penyegaran setelah beberapa malam dia mencari cara menemukan Naresh.
“Kamu pernah lari?”
Kala meneguk habis satu gelas air putih.
“Pernah. Cuma jarang aja.”
“Emang kuat?” Tanya Surya sambil berjalan ke depan rumah.
“Karena jarang, makanya mau nyoba lagi. Biar tahu, masih kuat apa nggak.” Ucap Kala seraya menyambungkan earphone bluetooth dengan HP-nya.
“Kal, sekalian bawain sepatunya Papa tuh.” Tiwi menunjuk sepatu di dekat kamar mandi. “Kemaren abis Mamah gosok. Kotor banget.”
Sebuah sepatu yang sepertinya pernah berwarna putih teronggok di tempat yang ditunjuk Tiwi. Terlihat banyak crease di bagian sisi sampingnya.
“Ini?”
“Emang ada sepatu yang lain?” Jawab Tiwi tanpa berpaling dari masakannya.
“Kok jelek?”
“Papa mana pernah mau ganti sepatunya. Dari dulu kan itu-itu aja.”
“Wi, sepatu aku mana?!” Terdengar suara Surya dari pintu depan.
“Udah sana, cepet bawain. Nanti keburu langitnya terang.”
Kala membawa sepatu tersebut. Dia sempat melihat rak tingkat dua di samping pintu, untuk memilih mana yang akan digunakan pagi ini. Dan pilihannya jatuh ke sepatu dengan stripe hitam. Hari ini mereka sama-sama memakai sepatu putih.
Setelah pemanasan ala kadarnya, pagi ini acara jogging Kala ditemani dengan “Taylor Swift - 22” di telinganya.
Rama To the Rescue
Olahraga pagi ternyata memang bukan jalan ninjanya. Untung saja hari ini Kala mengambil jatah liburnya. Sekarang dia hanya ingin tidur seharian. Tapi tidak bisa, jam sebelas pagi tadi ada dua makhluk yang membuka pintu kamarnya dengan sebungkus tahu crispy.
Sekarang jam tiga sore. Sambil memeluk guling dan menahan matanya agar tidak tertutup, Kala bertanya, “Ram, minggu depan lo sibuk nggak? Temenin gue, dong.”
Tidak ada jawaban. Dengan malas, Kala menggeser badannya dan melihat mereka berdua sedang fokus dengan HP Rama.
“Ngapain sih?”
“Milih makanan.”
Rama menunjuk sesuatu di HP-nya yang ditolak Binar dengan cepat.
“Permisi nih ... tapi kita baru makan mie goreng tek tek.”
“Belom makan nasi.” Ucap mereka berdua bersamaan.
Makanan memang selalu membuat dua orang ini kompak. Jika sedang akur seperti ini, Kala selalu teringat kalimat Zafran di film “5 cm”.
‘Sampe sekarang, gue nggak tahu kenapa kedua temen gue ini nggak pernah jadian.’ 1
Selagi badan Kala mulai menyatu dengan kasur, tidak butuh waktu lama perdebatan antara Binar dan Rama pun dimulai. Diawali dari Rama yang ingin makan ...
“Bakso.”
“Bakso nggak ada nasinya, Ram. Sushi ya.”
“Minggu lalu baru makan sushi. Nasi gila deh.”
“Gila kali, kemaren lusa kan udah pesen itu. Ayam geprek gimana?”
“Gue lagi males makan pedes, Bi.”
“Ya ... nggak usah pake sambel.”
“Nggak enak kalo nggak pedes.”
Setelah lima belas menit, akhirnya Rama menurunkan HP-nya.
“Ntar aja lah pesennya, bingung gue.” Dia mengambil tahu crispy yang sepertinya sudah tidak lagi crispy. “Tadi lo ngomong apaan, Kal?”
Tadinya Kala berharap silang pendapat antar keduanya berlangsung lebih lama, supaya dia masih bisa tidur.
“Gue mau minta temenin.”