Hei .. Hei, Siapa Dia? 1
Turun dari motor, Kala bersembunyi di belakang punggung Rama.
“Ngapain sih lo di belakang?”
“Udah jalan aja.”
Bukan ... Kala bukan takut bertemu Naresh. Dia lebih takut bertemu laki-laki yang waktu itu. Yang memakai jersey putih. Jika ternyata dia kenal Naresh bagaimana? Bisa-bisa Naresh tahu jika Kala sudah mencarinya dari beberapa hari yang lalu.
“Ada nggak, Kal?”
Sekarang mereka duduk di warung kopi ditemani dua gelas es teh manis, sementara Kala mencoba mencari wajah Naresh diantara kumpulan laki-laki yang sedang bermain basket. Suasana ini mengingatkannya pada masa-masa SMA di pinggir lapangan basket.
“Apa yang lagi main itu, ya?”
Seorang laki-laki dengan jersey hijau lumut berlari dan tanpa lama melempar bola tepat ke dalam jaring. Saat dia berbalik untuk toss dengan temannya, Kala mengenali wajah itu.
“Itu Naresh, Ram!”
“Oke.” Rama langsung berdiri saat melihat Naresh duduk di pinggir lapangan.
“Mau ngapain?”
“Ajak ngobrol lah. Kan udah sampe sini.”
Kala mengikuti Rama berjalan mendekati lapangan basket. Matanya masih berjaga-jaga, siapa tahu si jersey putih muncul.
“Lo jalan di samping gue, dong. Biar dia ngeliat lo kalo kita lewat di depannya. Tapi dia beneran kenal lo kan?”
“Ya ... mudah-mudahan aja masih inget.”
Mereka berjalan perlahan, supaya Naresh bisa melihat wajah Kala. Tapi Naresh sedang asyik mengobrol dengan temannya. Mengetahui Kala tidak akan menyapa lebih dulu, Rama berinisiatif untuk memanggil Naresh.
“Naresh!!”
Kaget dengan suara Rama yang nyaring, mata Kala membulat.
Mendengar namanya dipanggil, Naresh mencari sumber suara tersebut.
“Lho, Kala!” Dengan jersey hijaunya yang agak basah karena penuh keringat, Naresh bangun dari duduknya dan menghampiri mereka. “Kala kan? Yang di Cerita Kopi?”
“Iya. Halo.”
“Udah lama nggak ketemu. Ngapain?”
“Hmmm ...” Kala memikirkan alasannya. Dia belum mendapatkan briefing dari Rama.
“Mau nyobain Irotikay tadinya. Tapi rame banget.” Jawab Rama cepat.
“Iya, emang parah sih. Temen-temen gua aja kalo mesen sampe bisa ditinggal main basket dulu.”
Kala menunjuk Rama dengan tangannya. “Kenalin, ini Rama. Temen SMA, bukan kakak apalagi pacar.”
“Lo berdua pasti sering dikira pacaran.”
“Kalo tiap ditanya gitu, gue dapet sepuluh ribu. Sekarang gue udah punya Harley Davidson.”
Naresh tertawa. Kala memperhatikan Naresh saat dia berbicara dengan Rama. Sosoknya memang mirip seperti yang ada di kepalanya.
“Kal, kalo lo mau banget ngicipin, pesen aja. Ntar nunggunya di lapangan, mumpung udah sampe sini. Emang enak banget soalnya. Lo bisa main basket nggak, Ram?”
“Bisa.”
“Ya udah, lo pesen dulu. Nanti kelar main basket baru diambil. Satu jam-an lah. Lo duduk di pinggir aja sama gue, Kal.”
Setelah kembali dari antrian yang cukup ramai, Rama melepas jaketnya. Melihat kaus hitam dan sneakers putih yang dipakai Rama, sepertinya dia memang sudah siap untuk bermain basket malam ini. Rama langsung masuk lapangan untuk bergabung dengan teman-teman Naresh. Tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi, mereka sudah bisa bermain dengan kompak. Memang tidak salah dia mengajak Rama malam ini.
Saat permainan dimulai, Naresh berpisah dan duduk di samping Kala.
“Lo nggak main lagi?”
“Udahan dulu. Capek.”
Naresh membuka satu botol air dingin dan menghabiskannya dengan cepat. Dia mengulurkan botol yang lain kepada Kala.
“Minum, Kal. Nggak bekas gue, yang ini masih disegel.”
“Makasi.”
Saat mengambil botol dari tangan Naresh, secara tidak sengaja tangan mereka bersentuhan. Dan semua kilasan kembali muncul di kepala Kala. Tapi bedanya, sekarang laki-laki itu memiliki wajah Naresh. Dan semua terlihat lebih jelas dan vivid. Sepertinya ini memang kenangan milik Naresh.
“Kal, lo nggak apa-apa?” Naresh menggerakkan badan Kala.
Kala membuka mata. Semua banyangan tadi membuatnya refleks memejamkan mata.
“Nggak ... nggak apa-apa. Agak pusing aja tadi.” Kala langsung menghabiskan botol itu sampai tinggal setengah. "Lo biasa main basket malem-malem gini?"
"Tergantung mood aja, kadang siang. Tapi paling sering Senen malem gini. Bareng-bareng sama temen kuliah gue."
“Emang kantor lo di mana?”
“Gue lagi dipinjem sementara ke cabang deket sini, soalnya lagi kurang orang. Makanya pulangnya nggak lewatin Cerita Kopi.”