Bank Tiga Huruf
Hari ini Kala membawa motor Surya untuk menemui Naresh di tempatnya bekerja. Mengingat customer service di bank harus selalu stay hingga bank tutup, Kala memilih datang pada pukul dua siang, supaya mendekati waktu tutup cabang. Di tanggal tua seperti ini, keadaan bank tidak terlalu ramai. Hanya dua orang yang mengantri di customer service. Kala melihat Naresh sedang sibuk melayani nasabah. Setelah mengambil nomor, Kala menunggu dengan gelisah. Semoga dia bisa dilayani oleh Naresh.
Sepertinya keberuntungan sedang ada di pihaknya, saat nasabah di depan Naresh selesai, nomornya dipanggil.
“Eh, Kala. Selamat siang, ada yang bisa dibantu?” Naresh tersenyum.
“Hai.”
“Lo punya tabungan di sini?”
“Gini ... minggu lalu ... “Kala bersiap melontarkan script yang telah dia rancang semalam. “Bokap mau bikin tabungan rencana buat liburan keluarga. Pas gue cerita punya temen yang kerja di bank, dia minta ditanyain syarat-syaratnya.”
“Lo kesini buat nanya itu aja?”
“Tadi gue lagi ...” Script selanjutnya bersiap keluar. “Nganterin barang ke rumah sodara deket sini. Jadi sekalian mampir. Tapi gue baru mau nanya dulu, nggak apa-apa kan? Soalnya gue suka nggak ngerti kalo nanya lewat call center.”
“Nggak apa-apa lah. Lagi nggak rame juga.” Naresh mengambil sebuah flyer. “Jadi gini, tabungan rencana itu ...”
Well, sebenernya Kala tidak sepenuhnya berbohong. It’s true, Surya memang mengajak untuk liburan keluarga. Tapi baru rencana, lebih tepatnya omongan asal saat mereka menonton “Susah Sinyal” di Netflix. Boro-boro membuat tabungan rencana, waktunya saja belum tahu. Jika tidak sangat penting, Surya tidak akan mau meninggalkan “Cerita Kopi”.
“Jadi, gue bisa pilih mau nabung berapa tahun gitu, ya? Bedanya sama tabungan biasa apa?”
“Kalo tabungan rencana, rasanya nggak kaya nabung. Soalnya setiap bulan langsung dipotong dari tabungan. Nanti jumlahnya bisa diatur sendiri.”
“Hooo ... Oke deh, nanti gue ngomongin dulu sama Bokap.”
Kala mulai menjalankan langkah selanjutnya yang sudah disusun Rama.
“Duh, sorry perut gue bunyi.”
“Lo belom makan siang?”
“Tadi lagi sibuk banget, terus kelupaan. Di deket sini ada makanan apa, Resh?”
“Ada tukang bakso enak.” Naresh melihat jam di tangannya. “Gue bisa nemenin lo, soalnya gue juga belom makan siang. Tapi baru bisa cabut jam tiga – setengah empat. Lo kelamaan nggak?”
“Nggak apa-apa kok, gue juga mau belanja titipan Nyokap dulu.”
“Lo misscall HP gue ya, biar nanti gue kabarin kalo udah selesai.”
Naresh menyebutkan nomer HP-nya.
Walaupun jantungnya deg-degan, tapi yang penting rencananya berhasil. Kalo soal gini-gini memang Rama jagonya.
“Naresh itu gampang deket sama orang, kayaknya orangnya baik juga. Jadi kalo tahu lo belom makan siang, dia pasti mau nemenin.” Itu yang Rama bilang tadi malam.
Makan Siang Kesorean
Di depan mereka sudah terhidang satu mangkok bakso urat milik Kala, satu mangkok bakso campur milik Naresh dan tiga gelas es teh manis. Jakarta yang sudah tiga hari tidak diguyur hujan, membuat embun di gelas teh manis terlihat sangat menyegarkan.
“Lo emang sering makan di sini?” Kala mulai mencicip kuahnya.
“Biasanya minta tolong OB buat beliin terus makan bareng di kantor. Soalnya agak susah kalo mau makan keluar rame-rame. Udah tutup cabang aja masih banyak yang harus dikerjain.”