Toko Kopi Kekinian
Penuh.
Penuh.
Penuh.
Semua meja di tempat ini penuh, tapi kopi susu sudah ada di tangan Kala dan Naresh. Melihat wajah Kala yang kebingungan, Naresh mengajaknya duduk di pinggir jalan, tepat di samping motor merahnya.
“Kayaknya tadi pas kita antri nggak rame gini, kenapa tiba-tiba penuh banget?”
Dengan dagunya, Naresh menunjuk sekumpulan vespa yang diparkir tidak jauh dari mereka.
“Ah ... pantes.”
Sebuah notification Whatsapp muncul di HP Kala.
“Tapi kopi susunya enak.” Naresh menunjukkan senyumnya. “Kok lo tahu, gue suka kopi susu?”
“Hah?” Pertanyaan Naresh mengagetkan Kala yang sedang membalas chat dari Ratih.
“Gue tanya ... kok lo tahu gue suka kopi susu?”
“Itu ...” Sambil pura-pura mengetik, sel-sel di kepala Kala bergerak 1.
Nggak mungkin kan gue jawab, soalnya aku melihatmu dalam kepalaku.
Yang ada dia malah takut.
Ayo mikir, Kala!
“Gue ... cerita sama Icha kalo ketemu lo. Terus dia bilang, Oh ... Naresh yang tiap ke sini pesen kopi susu terus kan? Gitu.”
Sesungguhnya Kala tidak yakin, jika Icha akan berkata seperti itu. Tapi cuma itu alasan yang bisa dia pikirkan dalam waktu cepat.
“Eh katanya, kalo suka kopi susu itu berarti orangnya easy going sama lebih suka sesuatu yang udah nyaman, dibandingin nyoba sesuatu yang baru. Bener nggak?” Kala mencoba mengalihkan pembicaraan.
Naresh memutar gelasnya dengan tangan, lalu meminumnya, “Mungkin.”
“Kalo lo yang tiap hari ada di coffee shop, sukanya apa?”
“Gue sebenernya lebih suka hot chocolate. Rasanya kaya dipeluk selimut gitu. Anget.”
Naresh tertawa.
“Sorry ya, gue ngajakin ngopi tapi malah rame banget. Tahu gini kita langsung makan aja.”
“Santai. Gue juga nggak ada acara hari ini. Lo jangan kebanyakan minta maaf, Kal. Kalo emang kenapa-napa gue pasti bilang.”
“Temen gue juga bilang kalo gue kebanyakan minta maaf. Udah kebiasaan kayaknya.”
“Kalo kebanyakan minta maaf, nanti malah bikin lo selalu ngerasa kurang. Lo udah cukup, Kal. Gue seneng kok diajak ke sini.”
Kala meneguk kopinya. Di lidahnya, minuman ini tiba-tiba terasa lebih manis.
“Tapi kita duduk di pinggir jalan sambil minum kopi kaya gini, rasanya kaya pesen di starling ya, dibanding pesen di coffee shop.”
“Starling?”
“Starbucks keliling. Itu lho yang suka ada di kota tua, yang jualan kopi sachet sambil muter pake sepeda.”
Naresh lagi-lagi tertawa.
Restaurant Dim Sum
Parkiran depan restaurant penuh. Setelah mencari, Naresh memarkir motornya di seberang jalan. Tapi ini tidak menandakan restaurant itu juga penuh. Karena parkirannya jadi satu dengan ruko yang lain.
“Restaurant-nya yang itu, Kal?” Naresh menunjuk dari seberang.
“Yes!”
“Di sini kan nggak enak.”
Kala melihat Naresh dengan tatapan tidak percaya. Mata dan mulutnya terbuka lebar.