Pasar Ikan Hias
Kala mengambil helm dan mulai mencari Naresh. Ternyata tempat mereka berteduh ini adalah pasar ikan hias. Seharusnya Naresh ada di sini, kan tidak mungkin dia pergi ke tempat lain saat masih hujan. Kala belum pernah ke pasar ikan hias sebelumnya, lagipula tidak ada yang punya binatang peliharaan di rumah.
Di antara barisan akuarium dan ikan warna warni, Kala menemukan Naresh sedang berdiri sambil mengagumi ikan berwarna orange dengan perut besar. Mata Naresh tidak lepas dari ikan-ikan tersebut, sampai tidak menyadari kedatangan Kala. Tidak mau mengganggu, Kala berjalan ke akuarium sebelahnya dan melihat kumpulan ikan dengan garis orange - hitam di tubuhnya.
Sepuluh menit kemudian, Naresh melihat Kala berdiri di sampingnya.
“Eh iya, gue nggak bilang kalo mau masuk.” Naresh mengambil helm-nya dari tangan Kala.
“Lo suka ikan? Serius banget ngeliatinnya.”
“Gue pelihara mas koki di rumah. Ada sepuluh ekor.”
Kala teringat dengan salah satu kilasan yang ada kepalanya, Naresh yang sedang memberi makan sambil berbincang dengan ikannya. Dia tidak tahu Naresh bisa bahasa ikan.
“Banyak amat. Kalo gitu lo sering ke pasar ikan gini dong? Gue baru pertama kali.”
“Dulu gue sering diajak Bokap ...”
Naresh seperti menyadari sesuatu, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Ikan mas koki tuh yang ini, Kal." Naresh menujuk akuarium di depannya. "Yang perutnya kaya gini berarti udah gede. Gendut banget kan? Kalo yang nggak ada sirip atasnya itu jenisnya Ranchu. Agak aneh, tapi sebenernya lucu kalo diliatin terus. Ikan yang lo liat tadi, namanya Botia, dia emang sukanya berkelompok.”
Naresh meneruskan kuliahnya tentang jenis-jenis ikan dan betapa pentingnya menguras akuarium secara rutin. Jika hujan belum juga berhenti, mungkin dia juga akan menjelaskan bagaimana cara membuat filter akuarium sendiri di rumah.
Tapi Kala merasa ada yang dia sembunyikan. Tidak salah juga, karena mereka memang tidak dekat sampai Naresh harus menceritakan semuanya. Anehnya, Kala memang pernah mendapatkan bayangan Naresh dengan akuariumnya, tapi dia tidak pernah “melihat” Naresh pergi ke toko ikan dengan ... siapa tadi dia bilang? Bapaknya?
Petuah Malam Hari
Sampai di rumah, Kala ingin langsung mandi. Jaket yang basah ditambah angin memang bukan perpaduan yang tepat. Untung saja tadi Naresh menawarkan Kala untuk memakai jaket jas hujannya, sehingga tidak terlalu dingin. Sekarang hanya air hangat dan kasur empuk yang ada di kepalanya. Tapi sepertinya hot chocolate buatan Surya bisa jadi tambahan yang pas.
Seperti biasa, Kala bisa menemukan Surya di depan TV dengan laptop dan kacamatanya. Belum sempat Kala meminta untuk dibuatkan hot chocolate, Surya sudah memasang wajah keras.
“Kenapa baru pulang?”
Jarum pendek di dinding menunjuk ke angka delapan. Malam belum terlalu larut, tapi mengapa Surya sudah marah-marah?
“Kan baru jam delapan, Pa. Lagian tumben Cerita Kopi udah tutup.”
“Setiap libur, kamu pergi terus sama temen-temen kamu. Harusnya kamu lebih banyak belajar buat ngurus Cerita Kopi, belajar bikin ramuan kopi.”
Kepala Kala yang mulai pusing karena hujan tadi, mulai tidak bisa kompromi.
“Iya, Pa.”
“Kemaren ngisi botol aja sampe ngos-ngosan gitu nafasnya. Kamu tuh serius nggak, mau megang Cerita Kopi?”
“Iya ...”