Masa Depan
Rencana makan di luar dibatalkan. Binar memilih makan di rumah Kala.
Mereka duduk di lantai ruang TV ditemani seporsi dim sum mentai, tiga porsi chicken wings, kentang goreng, dan sekotak pisang goreng wijen.
Tanpa basa-basi Binar mulai makan. Untuk beberapa saat tidak ada suara. Mereka terlalu sibuk dengan makanannya. Sampai semua bungkus makanan tertumpuk kosong di depannya. Hanya pisang goreng yang masih tersisa.
“Kenyang?” Tanya Kala.
Binar mengangguk sambil menepuk perutnya. Di piringnya bertumpuk tulang-tulang ayam. Dua porsi chicken wing dihabiskannya sendiri.
“Banyak banget makan lo. Kenapa sih?”
“Gue baru kelar shooting dari kemaren.
Cast utamanya brengsek. Udah telat, pas dateng mood-nya jelek, ada aja yang salah di matanya, ngomeeelll mulu. Kan kasian crew yang udah kerja dari pagi. Asli, kesel banget gue. Seenggaknya kalo emang dia nggak bisa bikin shooting lancar, ya jangan bikin repot orang lain lah. Mentang-mentang namanya udah gede. Padahal acting-nya juga nggak bagus-bagus amat.”
“Wow, ngegas” Kala mengulurkan botol air dingin ke depan muka Binar.
“Terus apa lagi, Bi? Pasti cerita lo masih ada lagi.”
“Gue lupa udah cerita ini sama lo apa belom. Gue abis casting film.”
“Film apa lagi? Abis lo main web series waktu itu, tambah banyak aja yang nawarin lo casting.”
“Tapi banyak juga nggak ngabarin lagi. Jadi berapa bulan lalu, gue ikut casting film satu ini nih. Abis baca script yang dikasih, terus gue disuruh nyoba reading buat peran yang lain. Nunggu ... Nunggu ... eh di-calling lagi buat casting lanjutan. Ya udah, gue ikutin kan prosesnya.”
Binar kembali meneguk air putihnya. Sengaja untuk membangun tensi obrolan, tapi Kala tidak peduli dan masih asyik mengunyah pisang goreng.
“Eh, gue ... malah ditawarin jadi pemeran utama.”
“Asiiikkk! Temen gue terkenal!” Kala langsung mengambil HP-nya. Tapi langsung ditahan Binar.
“Mau ngapain lo?”
“Nelfon Rama, lah. Seneng itu harus dibagi-bagi, Bi.”
“Ntar dulu. Ini ada tapinya.”
“Tapi ...?”
“Tapi gue nggak yakin mau nerima. Gue nggak PD.”
Mata Kala membelalak, tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Binar nggak PD??? Jiwa gue masuk ke badan lo???”
Dibandingkan ekskul dance atau cheerleader, dia memilih ekskul paduan suara. Alasannya, dia suka menyanyi. Tidak peduli jika anak dance atau cheerleader lebih populer di sekolah. Begitu juga saat dia memilih menggandeng Kala di prom night sekolah, dibandingkan cowok-cowok yang mengajak berbulan-bulan sebelumnya.
Apa pun yang dilakukan Binar selalu dengan alasan karena dia suka, tanpa peduli omongan orang lain. Dan dia melakukan semua itu dengan penuh percaya diri dan tanpa ragu-ragu. Tidak pernah ada kata insecure dalam kamus Binar.
“Kal, ini main cast! Nih ya, produser Nia Dinata, sutradara Kamila Andini, skenario Gina S. Noer. Collab ... mereka collab lho. Kok bisa-bisanya, mereka nawarin gue jadi cast utama? Gue cuma Binar Anindira. Bukan Putri Marino, atau Shenina Cinnamon, atau Arawinda Kirana. Kok bisa gue? Casting director-nya gila kali, milih gue.”
Kala memukul kepala Binar menggunakan bantal sofa kecil.
“Bi, itu semua tuh kata-kata gue. Yang biasanya nggak PD itu gue, bukan lo. Binar nggak bakal bilang kaya gitu. Dia pasti bilang, gila gue bakal main filmnya Gina S. Noer! Ayo gue traktir! Gitu.”
“Kal, gue terbiasa naik pelan-pelan. Sekarang aja gue jadi supporting, abis casting berkali-kali. Masa, gue nggak pake naik jadi second lead dulu, tapi langsung first lead? Gue takut nggak bisa kaya ekspektasi orang-orang.”
Kala baru menyadari sesuatu, Binar memang punya potensi besar, tapi dia tidak pernah ada di atas. Paduan suara iya, tapi bukan penyanyi utama. Populer di sekolah iya, tapi bukan prom queen. Model iya, tapi bukan model cover majalah. Mungkin ini alasannya.
“Kalo gue ternyata nggak kompeten kaya cast utama yang tadi gue ceritain, gimana?”
“Sini, tangan lo.”
Kala menarik tangan kanan Binar dan menggenggam dengan kedua tangannya. Perlahan tapi pasti, muncul bayangan tentang masa depan Binar. Beberapa kilasan lewat di depan matanya.
Binar memperhatikan Kala. Karena Kala tidak pernah mau menunjukkan kemampuannya kepada orang lain, dia biasa berlatih menggunakan masalah Binar dan Rama. Tidak sekali dua kali Binar melihatnya seperti ini, tapi dia tetap terkesima dengan yang dilakukan Kala. Ntah apa yang membuat Surya bisa tidak percaya padanya. Di mata Binar, dia selalu kagum dengan yang Kala lakukan.
Akhirnya Kala membuka matanya.
“Ambil aja, Bi. Perjalanan lo sama tokoh yang mau lo mainin ini emang nggak gampang. Banyak riset, belajar macem-macem, latihan ini itu, tapi worth every drop of sweat and tears.
Gue baru tahu, kalo lo nyaman belajar sedikit-sedikit tapi sering. Nanti lo bakal belajar banyak banget hal baru dalam waktu singkat. Lo bakal banyak capek, sedih, curhat tengah malem ke gue, tapi lo juga bakal seneng banget sama hasil akhirnya.”
“Beneran?”
“Ya udah, kalo nggak percaya. Main aja terus jadi supporting sampe tua.”
“Kok galak sih? Jiwa gue masuk ke badan lo?”