Jalan Sore ... Mencuci Mata1
Kala meminjam motor Surya untuk pergi hari ini. Tidak ada tujuan jelas. Dia hanya ingin berjalan-jalan untuk menjernihkan pikirannya. Pembicaraan dengan Tiwi beberapa malam yang lalu, membuatnya banyak berfikir.
Kala mengarahkan motornya ke arah Menteng, berputar-putar di area perumahan. Diantara pepohonan, Kala menyadari mungkin bukan dia saja yang merasa kehilangan saat pindah dari Solo. Dia ingat pernah melihat Surya merenung di dalam “Cerita Kopi” yang lama, saat semua orang sudah pulang. Surya hanya duduk di kursi di tengah ruangan. Ntah apa yang dipikirkannya waktu itu.
Dengan kecepatan 40 km/jam, Kala tidak memiliki tujuan yang jelas. Walaupun matanya memperhatikan jalan, tapi kepalanya penuh dengan what if. Berfikir apa sebaiknya dia mengikuti kata-kata Surya saja? Tanpa membantah lagi. Mungkin dia harus mendapatkan kepercayaannya terlebih dahulu. Mungkin dia harus membuktikan jika dia memang bisa mengurus "Cerita Kopi" dengan baik.
Kala melihat sekelilingnya, sekarang dia berada di ... eh ... di mana nih? Sepertinya tadi masih di Menteng, kenapa sekarang sudah di ...
“Stasiun Gondangdia.” Kala membaca tulisan di depan sebuah bangunan.
Gimana caranya dia bisa sampai sini?
Kala membuka Google Map untuk mengarahkannya menuju rumah.
Sambil mendengarkan perintah Google Map, dia kembali dengan pemikirannya sebelumnya. Mungkin untuk beberapa tahun sambil dia belajar lagi. Dia mengakui masih kesulitan untuk membuat ramuan yang tepat, masih kesulitan untuk mengatur nafasnya saat mengambil kenangan, masih sering tidak fokus saat menerima customer.
Lebih dari itu dia juga masih harus belajar membuat pembukuan keuangan, nego dengan supplier, mengatasi complain customer, sampai mengatur karyawannya. Dia juga harus mengambil sekolah barista lagi dan kursus-kursus lainnya. Ternyata masih banyak yang lebih penting dalam mengatur sebuah kedai kopi, dibandingkan hanya berdebat dengan Surya.
Kala yakin ada satu titik dimana Surya bisa dinego, tapi sepertinya titik itu tidak akan terlihat dalam waktu dekat. Mungkin jika nanti dia sudah benar-benar mengelola “Cerita Kopi” secara langsung dan penuh, tanpa campur tangan Surya, Kala bisa bebas menentukan peraturan baru di sana.
Sekarang kepalanya bertambah pusing. Kenapa dia harus memikirkan ini sekarang? Sudahlah, lebih baik ... eh lho ... dimana lagi nih ...
“Monas?”
Sebuah monumen tinggi dengan emas di atasnya ada di depan mata Kala. Kumpulan orang dengan keluarganya memasuki kawasan tersebut.
Kenapa Monas? Rumahnya kan tidak lewat monas. Antara Google Map yang salah atau dia yang berkendara tanpa berfikir. Kali ini dia harus fokus, jangan tiba-tiba dia sampai di Kota Tua. Foto bersama manusia perak bukan tujuan utamanya hari ini.
Setelah fokus mengikuti Google Map, akhirnya Kala kembali ke jalan yang benar. Literary. Dia berhenti di tukang bola ubi untuk asupan di rumah nanti.
“Bang, tiga puluh ribu ya.”
“Mau yang kuning atau ungu?”
“Bedanya apaan? Rasanya?”
“Warnanya.”
Sebuah Telefon
Hari ini mereka berkumpul untuk menonton acting Binar di salah satu series OTT2. Kali ini dia menjadi supporting cast, alias adeknya si main cast. Dari belakang Kala bisa melihat tiga kepala yang sedang menonton Fox Crime. Series-nya baru dimulai dua puluh menit lagi.
Sebentar ... kok tiga?
Satu lagi kepalanya siapa?
“Gue beli bola-bola ubi nih.” Kala meletakkan plastik beningnya di lantai.
“Asiiikkk!!!” Binar langsung menyerbu.
“Hai.” Kepala Naresh menyembul dari samping Rama.
“Kok lo bisa ada di sini?”
“Gue yang ajak.” Ucap Rama dengan mulut penuh.
“Kenapa lo jadi nempel sama Rama?”