Tempat Sampah
Kala masuk ke kamarnya setelah “Cerita Kopi” tutup. Kamar yang biasanya selalu dia tinggalkan dalam keadaan bersih, sekarang penuh dengan bungkus makanan. Dua orang tergeletak tidak berdaya di depan laptopnya. Mereka menonton “The Mitchells vs. the Machines” di Netflix dengan gaya bebas. Satu di atas tempat tidur dan satu lagi di karpet.
“Pulang juga.”
Melihat Kala di depan pintu, mereka berdua bertepuk tangan. Tanpa berpindah dari posisinya.
Salah satu dari mereka mengulurkan tangannya. “Air putih dong, Kal.”
Kala memberikan sebotol air dingin. Dia sudah tahu apa yang diinginkan dua benalu di kamarnya ini.
“Lo berdua lagi kenapa sih?”
“Client gue ngomel-ngomel, Kal. Katanya rumahnya nggak kaya desain awal. Padahal emang belom selesai. Tembok aja belom berdiri semuanya.”
“Kalo lo?”
“Masa kata reviewer Youtube, cuma gara-gara series “Kapan Pindah Rumah” sukses makanya gue dipake di film ini. Terus dia bilang akting gue jelek. Monyet!”
“Terus kenapa tiba-tiba udah di kamar gue? Biasanya halo-halo dulu.”
Masih dalam posisi yang sama, Binar mengulurkan tangannya untuk mengambil keripik singkong di atas tempat tidur. Tanpa melihat, tangannya bergerak-gerak mencari plastik yang tadi dikuasai Rama.
“Abis lo lagi kerja. Terus kita langsung disuruh masuk sama Tante Tiwi.”
“Katanya anggep rumah sendiri aja. Ya udah kita masuk. Masih bagus, gue nggak ganti boxer.”
Kala menggaruk rambutnya. Setelah sekian jam bekerja, yang dia inginkan hanya beristirahat, bukannya menjamu sepasang makhluk depresi ini.
Semua tempat duduk sudah dikuasai oleh mereka, dengan terpaksa Kala memilih bean bag orange di pojok kamar. Dia sudah menonton film itu sepuluh kali dan memilih untuk bermain Gardenscapes. Terdengar suara mereka yang sesekali tertawa, lalu terdengar panik, kembali tertawa, dan Binar mulai menangis saat film memasuki klimaks. Sungguh pemandangan yang melelahkan.
Film pun berakhir. Dan secara perlahan mereka mulai bangun dari posisinya. Kali ini mereka terlihat seperti sloth di film “Zootopia”.
“Kal ... masa gue dibilang nggak becus jadi arsitek.”
“Kal ... masa gue dibilang aji mumpung.”
“Padahal gue udah ngasih liat gambar kerja yang terakhir, buat ngasih tahu kalo nanti kebangunnya bakal kaya maunya dia.”
“Padahal gue udah ngabisin banyak waktu buat latihan, riset, biar bisa acting kaya gitu. Gila kali tuh orang!”
Dua orang di depan Kala memasang tampang sedih. Ada masa-masa di mana kedua species ini akan terlihat seperti anak kecil di hadapan Kala, tidak sering, tapi tetap menyebalkan. Dan ini sudah terjadi sejak mereka SMA.
“Rama, lo kan nggak sekali dua kali ketemu client kaya gitu. Pikir aja kaya lagi ngadepin anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Client emang punya uang lebih banyak, tapi lo yang lebih pinter dari mereka. Mereka nggak ngerti apa-apa soal pembangunan rumah. Di lapangan lo yang paling tahu, jadi pake otak lo buat ngelawan omongan mereka pake cara yang lebih classy.”
Kala menarik nafas dan beralih ke perempuan di samping tempat tidurnya.
“Binar, dia itu cuma lihat apa yang ada di depan camera, selain itu dia nggak tahu apa-apa. Apa pun yang lo kerjain, pasti ada yang suka banget dan nggak suka banget, itu wajar. Apalagi kalo karya lo udah dilepas ke public. Kalo ada satu yang bilang jelek, masih ada seribu orang yang bilang bagus. Dan yang paling penting ... lo pasti lagi dapet makanya sensitif!”
Mereka berdua diam, tidak berkata apa-apa. Dan tidak lama kembali ke posisi yang sebelumnya. Hanya ada satu cara untuk membuat mereka kembali normal.
“Tadi Nyokap beliin martabak buat lo berdua.”
“Martabak apa?”
“Coklat keju susu. Nggak pake kacang.”
“Mau ...”