Semua Yang Terjadi
Naresh memilih tempat di pojok ruangan, menjauh dari sorotan banyak orang. Tanpa Kala sadari, Surya hanya berjarak dua meja darinya. Dia sedang memeriksa sesuatu di laptopnya.
“Udah lama nggak ke sini.” Kala membuka pembicaraan.
Tapi ucapan Kala ditanggapi dingin. Naresh duduk bersandar ke punggung kursi, matanya menatap lurus ke ceiling ruangan. Kala tidak bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan Naresh tanpa dapat menerka apa yang ada di dalam kepalanya.
“Hidup gue berantakan, Kal.”
Kalimat pertama dari Naresh membuatnya terdiam. Sel-sel di otak Kala seketika membeku. Keringat dingin mulai mengalir di punggungnya.
“Harusnya gue nggak usah dengerin lo.”
“Resh ...”
“Gue emang nggak bisa inget jelas, apa yang gue lakuin waktu terakhir kali kita ketemu di sini.” Naresh mengusap wajahnya.
“Tapi samar-samar gue tahu kalo lo nyuruh gue buat percaya sama lo. Lo bilang bisa bikin keluarga gue bahagia, kaya apa yang gue mau. Lo nyuruh gue buat ngikutin apa kata lo.”
Naresh menggerakkan kakinya, terlihat gelisah.
“Abis itu gue nggak inget apa-apa. Tapi lo pasti ngelakuin sesuatu, atau lo bikin gue ngelakuin sesuatu. Atau apa pun itu yang bikin hidup gue jadi kaya gini.”
“Lo ... kenapa?”
“Orangtua gue cerai.” Naresh tersenyum miris. “Bertahun-tahun ... gue bertahan di rumah biar mereka nggak pisah, berusaha deketin Bokap biar dia akur sama Nyokap, beresin rumah kalo Nyokap lagi down biar Bokap ngerasa rumahnya tetep diurus. Apa aja biar mereka tetep bareng.”
Kali ini dia tertawa kecil. “Tapi sekali gue ketemu sama lo. Sekali lo minta gue percaya sama lo, dan mereka pisah. Nggak pake lama, Kal. Nyokap sampe sengaja nggak dateng sidang biar cepet selesai. Nyokap gue ... yang bertahun-tahun bertahan biar keluarganya tetep utuh, yang selalu nolak kalo Bokap minta pisah, tiba-tiba jadi nggak peduli. Aneh.”
Jantung Kala berdegup kencang. Tangan dan telapak kakinya mulai terasa dingin. Apa yang sudah dia lakukan?
“Sekarang ...”
“Sekarang gue udah nggak tinggal di rumah yang lama. Rumah itu dijual sama Bokap, karena surat-suratnya atas nama dia. Waktu udah kejual, gue sama Nyokap disuruh keluar dan cuma dikasih 10% dari harga rumahnya. Sisanya diambil semua sama dia. Kita tinggal bareng di rumah itu dua puluh tahun lebih, dan diusir keluar kaya kucing. Gue tahu dia udah nggak peduli sama keluarganya, cuma gue nggak tahu kalo dia ... kaya gitu. Gila.”
Naresh bercerita dengan mata nanar. Memang ada senyum di bibirnya, tapi terlihat dipaksakan.
“Bokap bilang dia mau pindah ke Bandung, nggak tahu kenapa dia ke sana. Mau nikah lagi kali. Atau emang udah punya anak lagi. Gue nggak peduli.”
“Resh ...”
“Daripada ngontrak rumah, Nyokap mutusin buat masukin semua uangnya ke tabungan buat biaya hidup. Sekarang kita tinggal di rumah Kakek. Dan lo tahu? Kakek sama Nenek dulu nolak mati-matian waktu Nyokap pacaran sama Bokap, apalagi pas mereka bilang mau nikah. Ternyata insting orangtua nggak pernah salah.”
Kala memainkan jari-jarinya, bingung apa yang harus dikatakannya dalam keadaan seperti ini.