Penyesalan
“Kamu ngapain, Mbak?!”
“Udah Papa bilang berkali-kali jangan jangan jangan!"
"Kenapa masih juga nggak dengerin?!”
“Kan Papa udah ngasih tahu ...”
Surya menghentikan kalimatnya saat melihat Tiwi melotot ke arahnya.
Udah cukup. Ucap Tiwi tanpa suara.
“Aku cuma ... mau ngasih liat Papa ... kalo aku juga ... bisa ...”
“Tapi caranya nggak kaya gitu.” Tiwi mengelus rambut Kala. “Kamu coba tenang dulu ya. Mama mau ngecek di bawah sebentar, udah beres apa belum.”
Kala mengangguk. Masih diam.
“Kalo anaknya lagi kaya gini, jangan diceramahin. Dia udah tahu kalo dia salah, nggak perlu diperjelas lagi kesalahannya. Cukup temenin. Kalo dia belum mau ngomong, diemin. Jangan dipaksa.”
“Wi, aku harus ...”
“Sekali-kali dengerin istri kamu.” Bisik Tiwi tegas ke suaminya, sebelum dia keluar rumah.
Melihat Kala masih terdiam, Surya beranjak ke dapur. Dia mengambil panci kecil dan mulai menuang bubuk coklat. Hanya segelas coklat hangat yang terlintas di kepalanya.
Surya tidak tahu apa yang harus dia katakan saat ini. Istrinya lebih bisa menguasai keadaan saat anaknya sedang seperti ini. Selagi menambahkan susu putih, Surya bertanya kepada dirinya sendiri, mengapa dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan? Padahal itu anaknya sendiri.
Surya meletakkan satu mug merah di depan Kala. Tanpa berbicara, dia duduk di samping Kala sambil menikmati segelas coklat hangat miliknya sendiri.
Mereka saling terdiam selama beberapa menit, sampai tangan Kala terulur untuk mengambil mug di depannya. Matanya terlihat merah dan rambutnya berantakan.
“Papa pasti marah banget ... sama Kala.” Suara Kala mengecil.
“Bohong, kalo Papa nggak marah.”
“Aku harus gimana, Pa?"
"Aku bingung ... Aku nggak tahu ..."
"Aku salah ... Padahal aku cuma mau ..."
"Naresh gimana nih, Pa ..."
Ini percakapan pertama mereka selama berbulan-bulan perang dingin.
“Pelan-pelan ngomongnya. Naresh kenapa, Nduk?”
Secara perlahan Kala mulai bercerita. Mulai dari dia tidak sengaja meminum kopi yang menyebabkan memory Naresh muncul di kepalanya.
“Kemampuan ini yang bikin kita bisa ngeliat semua isi kepala pemilik kenangan, di dalam kopi yang kamu minum.”
“Emang ada yang pernah minum juga, Pa?”
“Mbah Kakung pernah. Kejadiannya persis kamu. Salah minum. Waktu itu Mbah Kakung cuma bilang kalo cara ngilanginnya susah, jadi jangan sampe ada yang salah minum lagi. Harusnya Papa bilang ke kamu.”
Kala melanjutkan ceritanya. Bagaimana dia menemukan laki-laki yang ada di kepalanya, sampai saat Naresh memberitahu tentang masalahnya. Hanya itu yang Kala ceritakan. Apa yang terjadi di antara kedua kejadian itu langsung di-skip. Tidak perlu juga Surya tahu sampai sedetail itu. Dan terakhir, tentang apa yang mereka obrolkan tiga puluh menit yang lalu di “Cerita Kopi”.
“Astaga, Mbak Kala.” Surya melihat Kala tidak percaya.
"Aku ... cuma mau ..."
"Iya ... Iya ... Papa ngerti, Nduk."
“Tapi ... Kenapa Naresh inget ngobrol sama aku, tapi nggak inget kalo dia minum kopi?”
“Siapa pun yang pesen kopi di ruangan itu, nggak akan pernah inget kalo dia abis minum kopi. Tapi kamu nggak ngasih dia air putih. Padahal itu yang bikin dia lupa sama obrolan kalian. Papa kan udah sering bilang, kalo setiap tamu harus dikasih dua-duanya. Nggak bisa cuma kopi aja.”