Fungsi Telinga
“Bebiiihhh ...”
Pintu kamar Kala terbuka. Di dalam, pemilik kamar duduk di pojok tempat tidur sambil menelfon. Melihat dua manusia yang memasuki kamar, dia segera menyudahi telfonnya.
“Bukan ... Itu Rama. Ya udah, Tih. Nanti tak telfon lagi ya.”
Rama menepuk kepala Kala, “It's okay.”
Dia memilih duduk di kursi belajar, menghadap Kala yang tidak beranjak dari tempatnya sambil memeluk bantal besar berwarna tosca. “Kata Tante Tiwi, lo masih sedih.”
“Gue nggak perlu cerita lagi kan?”
Setelah kejadian Naresh waktu itu, Kala sudah bercerita kepada kedua sahabatnya lewat video call, karena saat itu mereka sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tidak ada yang bisa mereka katakan waktu itu. Karena mereka berdua juga mengenal Naresh, walau mungkin tidak sedekat Kala.
Binar mengambil boneka kelinci, lalu merebahkan badannya di tempat tidur. Persis di samping Kala.
“Tapi emang itu salah lo, Kal. Kan gue bilang, lo jangan ngelakuin apa-apa tanpa mikir panjang dulu. Apalagi cuma buat buktiin diri lo sama Bokap.”
“Lo yang nyuruh gue buat nyelesein masalahnya Naresh, ya.”
“Kalo masalahnya soal keluarga, mendingan lo nggak usah ikut-ikut. Soalnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Lo dengerin gue nggak sih waktu itu?!”
“Tapi ...”
“Tapi lo impulsif aja. Nggak pake mikir nantinya gimana. Ada hidupnya Naresh juga di masalah ini, bukan cuma hidup lo.”
“Binar, udah lah. Kala kan bukan lo.” Ucap Rama.
Terkadang Rama gerah juga melihat Binar yang selalu keras terhadap Kala. Perempuan itu selalu berusaha membuat Kala menjadi dirinya saat menghadapi masalah.
"Gue tuh nggak cuma sekali dua kali nasehatin dia, tapi tetep nggak didengerin. Kala juga nggak dengerin kata-kata lo kan, Ram?" Binar bangun dari tidurnya.
"Tapi kalo lo ngomelin dia kaya gini, emang keadaannya bakal berubah?"
"At least dia tahu kalo dia salah."
"Lo pikir sekarang dia nggak tahu salahnya dia apa? Di sini yang paling dirugiin tuh Kala. Nggak ada hubungannya sama hidup lo." Rama mulai menaikkan nada suaranya.
"Kita itu sahabatnya, tugasnya ngingetin dia ..."
Tiba-tiba pintu terbuka.
“Halo, anak-anak. Ini Tante bawain rujak.” Tiwi menunjukkan piring berisi buah-buahan dan bumbunya.
Wajah Binar dan Rama yang sebelumnya serius, langsung berubah 180 derajat saat mendengar suara Tiwi. Senyum langsung terkembang begitu melihat piring yang dibawanya.
“Makasi, Tante.” Binar menerima piringnya dan meletakkan di atas karpet.
“Nggak sekalian kue bantalnya nih, Tante?” Ucap Rama sebelum boneka yang dari tadi dipeluk Binar mendarat tepat di ubun-ubunnya.
“Belum lewat, Ram. Nanti ya.”
Setelah Tiwi keluar dan menutup pintu, wajah mereka berdua kembali tegas.
"Kita itu sahabatnya Kala, tugasnya ngingetin kalo dia salah."