Ya ... Udah Sih ...
Musim skripsi dimulai.
Selain musim hujan, musim duren dan musim nikah, “Cerita Kopi” juga punya musim skripsi. Sejarah awal terbentuknya musim ini masih simpang siur.
Ada masanya banyak mahasiswa datang untuk mengerjakan skripsinya di tempat ini. Dapat dilihat dari ciri-cirinya, laptop, banyak buku, satu bundel kertas yang dicoret-coret, mata yang kurang tidur dan satu gelas kopi. Bahkan pernah ada yang bertemu dengan dosen pembimbingnya di "Cerita Kopi". Dan tentu saja ... Kala salah satunya.
Awalnya Kala kesal karena mereka hanya memesan satu cangkir kopi tapi duduk berjam-jam. Membuat customer lain tidak mendapatkan tempat. Tapi Surya selalu bilang.
“Biarin aja. Siapa tahu mereka ngerjain di sini karena di rumahnya berisik. Mereka itu lagi ngejar cita-citanya. Kita dapet pahala buat bantuin mereka lulus.”
Tapi sekarang ketika musim skripsi dimulai, Kala akan mengeluarkan satu paket spesial. Satu kopi, makanan, plus air putih botol yang bisa dibeli dengan harga lebih murah. Ditambah bonus konsultasi untuk jurusan arsitektur, hanya saat Rama sedang mampir. Pokoknya semua harus bisa dijadikan cuan cuan cuan.
Di suatu siang, seorang laki-laki memasuki “Cerita Kopi”. Dia terlihat seperti mahasiswa ... yang sudah lulus empat puluh tahun lalu. Tapi juga tidak terlihat seperti dosen pembimbing. Saat melihatnya, Surya berjalan menyambut laki-laki tersebut.
“Mas ... Tumben ke sini.”
Laki-laki itu adalah Pakde, sepupu Surya.
Mereka bersalaman dan duduk di salah satu kursi kosong. Surya meminta bartender membuatkan iced americano untuk Pakde.
“Tadi aku abis dari rumah temen lama, deket sini.” Pakde mengubah sikap duduknya, mencari posisi yang paling nyaman. “Dulu dia bekas menteri, sekarang ngurusin usahanya aja. Wah, macem-macem bisnisnya, banyak banget. Kemaren dia nelfon ngajak ngobrol, udah lama ndak ketemu katanya. Orang kaya bisa kangen juga sama temen lamanya. Ha ha ha ...”
Pakde tersenyum sekadarnya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang penuh dengan mahasiswa dan laptopnya.
“Pulangnya sekalian mampir sini. Mau lihat-lihat, kaya apa tempat ini sekarang. Terakhir aku ke sini kayaknya udah lama.”
“Masih begini aja, Mas.”
“Tempatnya beda banget, Sur. Pantes banyak anak kuliahan di sini. Dulu tradisional, tempatnya orang ngobrol, rame. Bukannya malah ngobrol sama HP, sama laptop, sibuk sendiri. Dasar anak muda.”
“Beberapa hari ini memang banyak anak kuliahan. Mereka lagi ngerjain tugas kuliah. Lagipula di sini kan dekat perkantoran, lebih cocok desain kaya gini.”
“Tetep aja. Kesan antiknya itu harus tetep dilestarikan lho, Sur. Dari awal aku emang ndak setuju banget tempat ini dipindah.” Pakde menyesap kopinya. “Menurut kamu, memang Bapakmu ndak marah kalo tahu tempatnya sekarang jadi ... begini?”
“Kalo dibiarin tetep di sana, malah ndak ada yang urus, Mas. Di Solo udah ndak ada sodara lagi. Semua udah pindah.”
“Ya kan bisa kamu yang jaga di sana. Jadi kalo ada keluarga yang ke Solo, bisa dijamu. Cerita Kopi kan udah lama banget di tempat itu. Malah tiba-tiba pindah.” Pakde menggelengkan kepalanya.
“Lagian kamu ngapain pindah ke Jakarta? Pengen ikut-ikut sodara yang lain? Kalo kita pindah ke Bali, kamu mau ikut juga?” Lanjutnya sambil tertawa.
“Buat Kala, Mas. Biar dia deket sama Eyangnya di Jakarta.”
“Halah ... kok bisa-bisanya kamu ngorbanin peninggalan Mbah Canggah cuma demi anakmu? Umur Cerita Kopi di Solo itu jauh lebih tua dari umur kamu loh.”
Kala yang dari tadi melihat obrolan itu mulai gerah dan mendekati mereka. Tiwi berusaha menghentikannya tapi gagal.
“Halo, Pakde.” Dengan menahan emosinya, Kala menyalimi Pakdenya. Lalu duduk di samping Surya.
“Eh, Kala. Udah gede. Kamu tuh udah lulus kuliah kan? Kamu kerja di sini sekarang? Ndak kerja kantoran?”
“Aku bantuin Papa aja ngurus Cerita Kopi.”