Jalan Tengah
Kala baru saja akan menaikkan kursi terakhirnya saat bahunya ditepuk.
“Mbak, Papa mau ngomong.”
Kala sudah tahu, Surya pasti ingin membicarakan soal percakapannya dengan Naresh tadi siang. Dia menurunkan lagi kursi-kursinya.
“Kamu masih inget, apa aja yang kamu lihat di kepala Naresh waktu itu?”
Kala memejamkan matanya dan mulai menarik informasi lamanya. Dia mencoba mengingat apa saja yang pernah muncul. Perlahan Kala menceritakannya kepada Surya.
“Aku pikir, apa yang mucul di kepala aku pasti 100% sama kaya kejadian yang sebenernya, kaya yang biasa aku lihat di Binar atau Rama. Tapi ternyata di kasusnya Naresh nggak kaya gitu.”
“Kejadian temennya Papa itu, bikin Papa belajar kalo gambaran yang ada di kepala kita itu beragam, tergantung orang yang kita bantu. Kadang cuma sebagian kecil, potongan-potongan gambar, atau bisa juga semuanya."
"Kita sebagai yang punya kelebihan, harus bisa ngebaca dan terjemahin maksudnya. Jadi tugas kita itu, ngumpulin semua potongan ceritanya terus nyatuin satu-satu kaya puzzle, nggak bisa langsung nyampein gitu aja.” Lanjut Surya.
“Aku baru tahu.”
“Gimana mau tahu, kalo kamu nggak nanya.”
“Gimana mau nanya, kalo tiap diajak ngomong Papa selalu bilang kemampuan aku nggak ada gunanya.”
“Mbah Kakung bilang, kemampuan kita ini datengnya nggak sekaligus, tapi dikit-dikit. Pelan-pelan. Kaya belajar naik sepeda. Harus terus dilatih supaya kita bisa ngeliat semakin detail. Supaya kita juga bisa lebih pinter buat nyatuin semua gambarannya.”
“Kenapa sih Papa nggak pernah cerita ke Kala?”
Surya terdiam sesaat.
“Kalo kamu tanya sekarang, Papa juga nggak tahu. Mungkin Papa takut buat nyoba cara baru. Daripada nyoba terus malah gagal kaya dulu, mending terusin yang udah ada aja. Yang udah pasti berhasil.”
“Tapi gagal kan wajar, Pa. Namanya juga nyoba.”
“Wajar kalo yang kecewa cuma kamu sendiri, tapi kerjaan kita ini berhubungan sama hidup orang lain. Dan kalo mereka dapet apa yang mereka minta, itu bebannya ada di mereka, bukan di kita. Tapi kalo kita yang ngasih saran, ternyata hasilnya nggak baik, kamu jadi ikut nanggung bebannya. Kaya kamu yang terus kepikiran soal Naresh.”
“Aku ngerti ...”
“Permisi, Pak.”
Seorang bartender berdiri di belakang mereka. Kala pikir mereka sudah pulang dari tadi setelah beres-beres.
“Mau zuppa soup?”
“Hah? Gimana?”
“Mau zuppa soup?”
Pertanyaan yang cukup random mengingat sekarang sudah pukul sepuluh malam.
“Kamu bikin?”
“Nggak, itu ada abangnya yang jualan.” Dia menunjuk ke luar jendela.
Sebuah motor berwarna hijau dengan kotak di belakangnya berhenti di depan “Cerita Kopi”. Dikelilingi oleh beberapa pembeli yang mengantre.
“Zuppa soup kaya yang di kondangan?” Tanya Kala penasaran.
“Iya.”
“Dia jualan zuppa soup di motor?! Kaya somay? Gokil! Emang ada ovennya?”