At Last ...
“Cerita Kopi” baru buka lima belas menit lalu, tapi dua pengunjung tetap sudah duduk santai di dekat area bar seperti di rumah sendiri.
“Jadi lo sama Om Surya udah akur sekarang?”
“Kita cuma menyamakan persepsi aja sih.” Kala mengisi energinya dengan segelas iced americano. “Gue sama Bokap masih gini-gini aja. Masih ngotot-ngototan, cuma lebih ada kompromi-nya aja. Ya ... nggak bakal bisa jadi kaya Binar sama Bokapnya lah. Yang penting Bokap seneng, gue seneng, Nyokap juga seneng.”
“Kenapa nggak dari dulu aja sih?”
“Kayaknya dia baru dengerin gue, waktu hasilnya udah kelihatan. Atau waktu gue udah bikin masalah gede. Salah satu dari itu lah.”
“Terus Naresh gimana?”
“Ya ... biasa aja. Dia ngajakin ketemuan, cuma nanti kali.”
“Tapi kita masih bisa ngumpul bareng dia kan?” Tanya Rama dengan mulut penuh mochi waffle. Menu baru di “Cerita Kopi”.
“Terserah Naresh lah, coba lo ajak aja. Lo kesepian banget, nggak ada dia?”
“Emang lo nggak?”
“Gue nggak kangen sama orang yang nggak kangen sama gue.”
“Tahu dari mana, kalo Naresh nggak kangen sama lo.”
Beberapa customer mulai masuk. Bartender mulai menggiling biji kopi. Suara steam mulai terdengar. Ojek online mulai memenuhi meja bar untuk mengambil pesanan.
Same old same old. Tidak ada yang berubah di “Cerita Kopi”.
“Kalo Naresh nggak mau sama lo, cari orang lain lah. Tinder gimana?"
"Orang-orang bisa ketemu cowok normal di Tinder gimana caranya sih? Gue dapetnya yang baru match udah ngajak FWB, yang ngaku-ngaku bisa nyadap nomer HP, yang nanya lowongan kerjaan."
"Umur kita udah 27, emang lo belom kepikiran nikah? Kalo gue kan udah punya pacar.” Ucap Binar bangga.
“Tapi pacar lo baru mau nikah di atas 32 kan? Rama aja 28 tapi masih santai tuh.”
“Kenapa bawa-bawa gue?”
“Ram, lo juga udah tua. Jangan kebanyakan gebetan, tapi banyakin keterikatan. Komitmen.” Binar menunjuk Rama dengan gelasnya.
“Gue masih nunggu cewek yang tepat. Sekarang kebanyakan beda prinsip. Gue mau serius, dia-nya nggak.”
Seorang perempuan memasuki “Cerita Kopi” bersama suami dan bayinya. Mereka terlihat bahagia saat mengantri di kasir. Si suami menggendong anaknya sambil memainkan pipinya, sementara si istri memilih minuman untuk mereka. Ketiga sahabat itu melihat pemandangan tersebut lalu menghela nafas panjang. Perjalanan mencari jodoh memang tidak se-simple acara Take Me Out.
“Kak, boleh minta foto nggak?” Tiga orang perempuan mendatangi Binar.
“Boleh dong.”
“Tapi di sana ya, yang background-nya bagus.” Perempuan itu menunjuk pojok ruangan, yang dihias dengan ambalan yang diisi beberapa novel dan pot-pot tanaman kecil.
“Boleh ... Boleh ...”
Kala dan Rama memperhatikan Binar yang terus tersenyum walaupun fotonya diulang beberapa kali.
“Karirnya Binar lancar banget ya. Emang nggak salah yang gue liat waktu itu.”
“Katanya project film dia yang paling baru itu, rencananya mau diikutin ke Lorcano Film Festival.”
Kala melirik Rama yang tidak lepas memandang Binar.
“Lo masih suka sama dia?”
“Masih.” Rama mengambil satu potong waffle lagi.
“Lo nyesel, nggak pernah confess sama Binar? Terus sekarang dia pacaran sama Refal Hadi lagi.”
“Nggak. Pacarnya sekarang seratus kali lebih baik dari gue. Lo liat sendiri kerjaan gue masih gini-gini aja. Masih budak korporat.”
“Mark Sloan di Grey’s Anatomy pernah bilang gini ..."
Kala berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya.