Rumah kami sekarang, meskipun sederhana, selalu memberikan rasa nyaman. Namun, hidup itu tak selamanya berjalan mulus, dan kami sudah beberapa kali pindah kontrakan. Setiap kali pindah, rasanya campur aduk—antara sedih harus meninggalkan tempat yang sudah jadi kenangan, dan penasaran dengan petualangan baru di rumah yang akan kami tinggali selanjutnya.
Pagi itu, aku sedang membereskan meja belajar ketika kudengar Mama berbicara di telepon dengan nada serius. Aku tak bermaksud menguping, tapi percakapan itu terlalu jelas untuk diabaikan.
"Iya, Bu, kontraknya habis akhir bulan ini... Iya, iya, kami akan segera berkemas," ucap Mama, suaranya terdengar tegang. Setelah menutup telepon, Mama tampak duduk termenung di ruang tamu.
Aku menghampiri dan duduk di sampingnya. "Ma, kita pindah lagi ya?" tanyaku dengan hati-hati.
Mama tersenyum lemah dan mengangguk. "Iya, Nak. Kontrak rumah ini sudah mau habis, dan kita belum dapat tempat baru."
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya kami menghadapi situasi seperti ini. Beberapa tahun terakhir, keluarga kami sudah terbiasa pindah-pindah kontrakan. Setiap kali masa sewa habis, kami harus mencari rumah baru yang terjangkau dengan penghasilan Papa sebagai salesman dan hasil dari toko kelontong Mama.
"Papa lagi cari rumah baru buat kita," lanjut Mama. "Tapi harga kontrakan sekarang makin mahal, Nak. Kita harus bersabar."
Mendengar itu, aku hanya bisa mengangguk. Ada perasaan khawatir yang sulit dijelaskan, tapi aku tahu ini bukan waktunya untuk mengeluh.
Beberapa hari kemudian, suasana di rumah kami mulai berubah. Kardus-kardus mulai muncul di sudut-sudut ruangan. Barang-barang mulai dikemas satu per satu. Mama menginstruksikan kami untuk membereskan kamar masing-masing. Aprilia dan Hairun tampak bersemangat mengumpulkan mainan dan buku mereka, seolah pindah rumah adalah petualangan baru.
“Ayo, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya!” seru Mama sambil sibuk memasukkan baju-baju ke dalam koper.
Papa, seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya di luar rumah. Namun, di tengah kesibukannya, ia tetap memikirkan keluarga. Aku ingat betul bagaimana Papa berjanji akan bekerja lebih keras agar kami bisa tinggal di rumah yang lebih baik suatu hari nanti.