Cerita Papa dan Kenangannya

Wahyu Firmansyah
Chapter #4

Motor Baru

Perjuanganku untuk masuk ke SMP Black Sheep akhirnya terbayar lunas. Setelah berbulan-bulan belajar keras, aku berhasil lulus SD dengan nilai yang memuaskan. Lebih dari itu, aku bahkan mendapatkan undangan untuk masuk ke sekolah impianku. Rasanya seperti mimpi!  

SMP Black Sheep bukan sekolah biasa. Sekolah ini terkenal karena memiliki tim basket yang luar biasa. Aku sudah lama mengincar tempat ini karena mereka sering menjuarai berbagai turnamen, baik tingkat kota maupun nasional. Bisa bermain di sana adalah impianku sejak kecil.  

Aku masih ingat bagaimana aku dulu sering bermain basket sendirian di lapangan dekat rumah. Bola oranye kusam yang selalu aku pakai adalah hadiah dari Papa saat aku berulang tahun yang ke-7. Meskipun warnanya sudah pudar dan bagian luarnya mulai mengelupas, aku tetap menggunakannya. Setiap sore, sementara teman-teman di sekitar rumah asyik bermain sepak bola di lapangan, aku justru menghabiskan waktu sendiri, mendribel bola, menembak ke ring, dan berlatih teknik-teknik dasar yang kutonton dari video di internet.  

“Tara, Tara, main bola yuk!” teman-temanku sering meneriaki namaku di depan rumah.  

“Duluan aja, aku mau ke lapangan basket,” jawabku dari dalam rumah, sambil cepat-cepat mengganti baju olahraga.  

Mereka sudah tahu jawabanku. Aku bukan anak yang suka bermain sepak bola seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya di daerahku. Basket adalah duniaku.  

Saat aku pertama kali memberitahu Mama dan Papa tentang undangan dari SMP Black Sheep, mereka terkejut sekaligus bangga.  

“SMP di Jakarta, Nak?” Mama bertanya dengan mata berkaca-kaca.  

Aku mengangguk semangat. “Iya, Ma. Ini sekolah yang punya tim basket bagus. Aku bisa lebih berkembang kalau sekolah di sana.”  

Papa menghela napas panjang sebelum akhirnya tersenyum. “Kalau ini memang yang kamu mau, Papa dan Mama pasti dukung.”  

Aku langsung memeluk mereka. Hatiku penuh dengan rasa haru dan bahagia. Aku tahu mereka pasti khawatir melihat anaknya berangkat sekolah ke Jakarta sendiri. Tapi Papa dan Mama percaya padaku, dan itu yang paling penting.  

Memilih sekolah di Jakarta artinya aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Aku harus mengejar angkot pertama yang lewat agar tidak terlambat.

Setiap pagi, alarm berbunyi pukul 04.30. Aku buru-buru mandi dan sarapan secepat mungkin.

Lihat selengkapnya