Kaulah istriku. Perempuan yang ragu saat aku menceritakan bahwa aku bertemu dengan orang-orang besar yang bisa membantu mewujudkan mimpi-mimpiku. “Hati-hati,” katamu suatu hari, “Tidak semua orang suka jika orang lain lebih hebat dan lebih bahagia daripada mereka.”
Aku marah? Tentu saja. Kau tak mengerti betapa besar dan hebat orang-orang ini. Mengenal mereka adalah sebuah kebanggaan buatku. Dan saat mereka menyatakan bahwa mereka akan membantuku, “Bukankah itu hebat?” tanyaku. Tetapi kau menggelengkan kepala. “Aku hanya bisa berdoa untukmu,” jawabmu.
Hari demi hari berlalu. Aku pun mulai menceritakan kekesalanku tentang para pembesar itu, orang-orang yang kuanggap hebat, mereka yang kupikir akan sepenuhnya membantuku, ternyata hanya memikirkan diri mereka sendiri—kepentingan mereka masing-masing. Tetapi kau dingin saja, sambil membetulkan ikat rambutmu, “Kan aku udah bilang,” katamu. Aku tak bisa menjawab apa-apa.