cerita sebelum kiamat

Bramanditya
Chapter #5

45 Jam Sebelum Kiamat : Panggung Sandiwara

45 Jam Sebelum Kiamat.

Raihan berteriak dan meronta saat Bagas dan Aryo memegang kedua kaki dan tangannya kemudian mengangkatnya dan membawanya ketengah laut lalu melempar tubuhnya saat ombak datang.

Bagas dan Aryo tertawa melihat Raihan yang berusaha bangkit sambil terbatuk-batuk karena air yang masuk kemulut dan hidungnya, sedang Nur dan Ana hanya tersenyum dari kejauhan melihat tingkah ketiga sahabat mereka.

"Awas kalian, tunggu pembalasanku." Raihan tampak kesal dan berjalan menjauh dari bibir pantai.

Nur menghampirinya lalu ikut berjalan bersama Raihan menuju gazebo.

"Mereka tidak berubah kalau sedang berada dipantai, usil dan pasti mengerjaimu seperti ini."

"Biar saja Nur, akan kusikat habis makanan digazebo sebagai balas dendam." Ucap Raihan penuh semangat dan disambut dengan tawa dari Nur.

Mereka berdua duduk digazebo yang jauh dari terik cahaya matahari. Nur menuangkan teh hangat kedalam gelas lalu meletakannya disamping Raihan yang sibuk menikmati jagung rebus ditangannya.

Sejenak mereka terdiam, hanya suara mulut Raihan yang sibuk mengunyah biji jagung.

"Terimakasih karena tidak menghakimiku."

Wajah Nur tampak terkejut mendengar ucapan Raihan.

"Aku takut kalian akan berfikir buruk tentang keputusanku yang lebih memilih kalian daripada istri dan anakku adalah sebuah kebodohan." Lanjutnya.

"Aku hanya takut terpilihnya aku..."

"Sudah Han, jangan terlalu dipikirkan." Nur memotong ucapan Raihan yang terbata-bata. Ditatapnya Raihan lalu dipegang bahunya dengan lembut untuk menenangkannya.

"Kami yakin itu adalah keputusan terbaikmu dan aku dan teman-teman merasa tersanjung dengan pilihanmu." Lanjutnya.

Raihan melempar tongkol jagung ditangannya lalu tediam sejenak menatap pantai.

"Anakku bersama dengan orang-orang terbaik yang akan menjaga dan membesarkannya. Seorang ibu, kakek dan nenek yang terbaik dan memiliki segalanya."

"Dan cerita terbaik tentang sosok ayahnya." Sela Nur lalu berdiri dan menatap Raihan dengan senyuman.

"Segera tuntaskan dendammu sebelum mereka kesini."

Raiham tertawa mendengar ucapan Nur.

365 Hari Sebelum Kiamat.

Perempuan cantik itu bernama Sisca yang sedang kesakitan diranjangnya dan dekelilingi oleh beberapa perawat dan seorang dokter. Tampak Pak Tjandra dan istrinya sedang berdiri disamping anak mereka satu-satunya untuk menguatkannya.

"Dimana mas Raihan pah, dia harusnya sudah berada disini?" Ucap Sisca sambil menahan sakit dan mencengkram erat tangan pak Tjandra.

"Papa sedang berusaha menghubunginya." Dipegangnya tangan putrinya dan tersenyum dengan tenang.

"Bilang pada mas Raihan, bayi ini tidak akan keluar kalau dia tidak berada disini seperti janjinya." Ancam Sisca pada kedua orang tuanya lalu dia terisak dan melepaskan cengkraman tangannya.

Ibu Tjandra menggantikan posisi suaminya yang berjalan keluar sambil mengeluarkan handphonenya.

"Bagaimana?" Ucap pak Tjandra tegas pada seseorang di ujung telponnya.

"Sesuai rencana pak." Jawab pria diujung telpon singkat.

"Bagus." Pak Tjandra menutup telponnya lalu kembali masuk kedalam ruangan bersalin.

***

Raihan dengan setelan jas yang masih tampak rapi sedang menatap langit kota Palembang yang sedikit mendung malam itu. Dari balik jendela kaca ruang tunggu bandara, dia berdiri dengan tenang menunggu pesawat yang harusnya sudah datang dan membawanya kembali ke Surabaya.

"Kamu tahu pesawat itu tidak akan datang malam ini?" Ucap Rani, asistennya yang sedang duduk menatapnya dari belakang.

"Aku tahu." Jawab Raihan singkat.

"Adakah yang lebih menyakitkan daripada seorang suami yang tidak bisa melihat langsung kelahiran putra pertama mereka? atau menemani istri mereka yang sedang berjuang melawan maut?" lanjutnya sambil menoleh dan tersenyum pada Rani yang hanya mengangkat bahu.

Raihan kembali menatap kearah luar, "Tapi dia tahu, si tua bangka itu tahu kalau hal itu akan menyakitiku."

Lihat selengkapnya