cerita sebelum kiamat

Bramanditya
Chapter #6

44 Jam Sebelum Kiamat : Madu Dan Racun

44 Jam Sebelum Kiamat.

Ana terkejut saat tiba-tiba Raihan muncul dihadapannya dari balik pondok bambu.

"Ihan...!"

"Ana...!" Raihan tampak ikut terkejut dan salah tingkah.

"Kamu disini ternyata, kita panik mencarimu Han." Tatapan curiga Ana pada Raihan yang berusaha menyembunyikan salah tingkahnya.

"Kamu sedang apa disini? bawa-bawa gelas juga." Tanya Ana penasaran.

"Ngeteh sambil lihat laut dari sini." Jawab Raihan tegas sambil perlahan memasukkan kunci pintu pondok ke saku celananya untuk menghindari kecurigaan Ana.

Untuk sesaat Ana masih menatap curiga pada Raihan lalu dia menghela nafas melepaskan kecurigaannya.

"Dicari sama teman-teman tuh, makan siang sudah hampir siap."

Ana melangkah meninggalkan Raihan menuju ke tepian tebing yang tertutup rimbunnya semak-semak, sekilas Ana bisa melihat air laut yang menghantam karang.

"Kamu duluan Han, sudah dicari-cari." Perintah Ana tanpa melihat Raihan yang hanya terdiam melihatnya dari belakang.

Perlahan Raihan berjalan mendekat ke tempat Ana berdiri. Ketika dia sudah dekat dengan Ana, tangannya sudah siap untuk menangkap Ana, namun Ana terlebih dahulu menoleh kearahnya.

"Kamu kenapa Han?"

Raihan menatap kearah bawah, "Untuk seseorang yang takut ketinggian, kamu bernyali juga sedekat ini."

Ana tampak bingung dengan ucapan Raihan lalu dia berjalan kearah tengah tebing dan duduk di kapal kayu kecil yang sengaja diletakkan disitu untuk berfoto pengunjung pantai.

Raihan menyusulnya dan ikut duduk sambil menatap laut.

"Aku tidak akan lupa dengan musuh bebuyutanku."

Ana tersenyum sambil sesekali merapikan rambutnya yang menari-nari karena tiupan angin.

"Sejak kapan kamu tahu...Gajah."

"Bencong." Balas Raihan.

Mereka saling menatap lalu tertawa bersama.

"Cara kita bertengkar dan berdebat beberapa kali tadi, membuatku selalu teringat dirimu dan sikap manjamu dihadapan ibu adalah awal kecurigaanku."

Ana tersenyum.

"Dan hanya kalian yang memanggilku Ihan." Lanjutnya.

"Hanya ibu, Nur dan kamu yang membuatku harus bekerja ekstra keras menyembunyikan Budi dalam diriku."

Raiham tertawa, "Bagas...? bukankah seharusnya dia yang paling tahu."

Ana ikut tertawa lalu memukul manja bahu Raihan, "Mungkin dia curiga atau mungkin juga dia sudah tahu, hanya saja dia takut kalau apa yang dia pikirkan sebenarnya adalah sebuah kenyataan pahit baginya."

"Mimpi buruk tepatnya..." Sahut Raihan.

"Apa kabarmu?" Tanya Raihan saat tawa mereka reda.

Ana terdiam sejenak, "Beginilah Han, kamu bisa melihatnya."

"Tapi kenapa?"

Ana menatap Raihan, "Alasan perubahanku atau alasan aku menyembunyikan jati diriku?"

"Aku lama tinggal Boston dan banyak aku jumpai Ana-Ana yang lain disana."

Mendengar ucapan Raihan, Ana hanya bisa tersenyum, "Aku takut kalian kecewa dan memandang aneh diriku."

"Kalau Bagas mungkin..." Celetuk Raihan.

Mereka berdua tertawa.

Raihan lalu memeluk Ana, "Senang bisa melihatmu disini...dan lega."

"Ayo turun." Ajak Raihan sambil berdiri.

"Kamu duluan Han, aku ingin disini sebentar."

Raihan terdiam menatap Ana sesaat, ada rasa takut dan khawatir dihati Raihan karena Ana enggan turun bersamanya.

"Kenapa Han?" Tanya Ana yang heran melihat Raihan menatapnya tajam.

Raihan tersadar lalu tersenyum dan meninggalkan Ana, "Aku duluan."

"Ihan... jangan beritahu Bagas dan Aryo!" Teriak Ana pada Raihan yang sudah mulai turun dari tebing karang dan hanya menjawabnya dengan acungan jempol.

***

365 Hari Sebelum Kiamat.

Sebuah sedan hitam berhenti didepan Ana dan dia tampak kecewa saat sosok Vino keluar dari dalam mobil lalu menghampirinya.

"Aku antar pulang." Vino meraih koper disamping Ana dan memasukkannya kedalam mobil lalu membuka pintu depan untuk Ana.

Dengan sedikit kesal, Ana masuk kedalam mobil dan melepas kaca mata hitamnya.

"Dimana Christian?" Tanya Ana begitu Vino masuk kedalam mobil dan meninggalkan Bandara Soetta.

"Berminggu-minggu aku mencoba menghubunginya Vin, namun nihil. Dia menghilang begitu saja dari hidupku dan tega membiarkan aku sendirian di Thailand."

"Aku berminggu-minggu sendirian Vin setelah operasiku." Lanjut Ana tanpa membendung lagi emosinya dihadapan Vino.

Saat Ana mulai terisak, Vino mengambil tisu untuknya dan dengan sabar mendengar curahan hati Ana.

"Apa yang sedang terjadi Vin, katakan padaku sejujurnya, aku yakin kamu mengetahui sesuatu karena kamu sahabat terdekatnya?"

Vino hanya terdiam sambil menatap kearah depan.

Lihat selengkapnya