37 Jam Sebelum Kiamat
"Apa perlu kita membunuh mereka berdua?" Ucap Ana dengan santainya sambil menatap Aryo dan Bagas yang sedang sibuk membuat api unggun.
Nur terkejut menatap Ana seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Ana...!"
Ana hanya tersenyum menatap kearah Nur, "Hanya bercanda Nur, tapi kalau itu bisa membuatmu lega, ya aku akan bantu."
Mereka berdua tertawa.
"Disini tidak ada sinyal Ihan..." Teriak Ana gemas pada Raihan yang tampak emosi dengan handphonenya.
"Harus keatas tebing." Lanjutnya sambil menunjuk kearah tebing.
Raihan melempar handphonenya dengan kesal ke tikar tempat Nur dan Ana duduk lalu bergabung dengan Aryo dan Bagas.
Mereka kembali tertawa melihat tingkah Raihan, lalu suasana menjadi hening kembali diantara mereka.
"Dulu, selain melecehkan diriku, ayah angkatku juga kerap memukuliku. Semua luka fisik aku sembunyikan di balik bajuku dan semua luka psikis aku sembunyikan dibalik senyumanku pada teman-teman di sekolahku." Ana memegang tangan Nur dan menatapnya.
Nur hanya terdiam melihat kearah kobaran api unggun yang semakin besar.
"Bekas luka itu akan hilang Nur, tapi trauma akan luka itu akan kita bawa sampai mati." Lanjut Ana.
Dan Nur masih terdiam melihat kobaran api didepannya lalu air mata mulai menetes dipipinya.
180 Hari Sebelum Kiamat.
Berulang kali Nur hendak mengetuk pintu didepannya, namun selalu mengurungkan niatnya. Terkadang dia hanya berdiri mematung untuk beberapa saat, entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu.
Suasana di lantai tiga di sebuah rumah susun tampak sepi, padahal hari masih belum beranjak siang.
Akhirnya Nur memutuskan untuk pergi dan berpapasan dengan seorang wanita tua yang berusia enampuluhan.
"Nur..."
Nur terkejut dan menghentikan langkahnya saat hendak menuruni anak tangga dan menoleh pada sosok wanita tadi yang memanggil namanya.
"Aku sudah menunggumu cukup lama Nur."
Wanita tua itu tersenyum pada Nur yang sedang menatapnya dengan wajah keheranan.
***
Nur duduk di ruang tamu disebuah kursi sofa berwarna hijau, yang sudah pecah kulitnya di beberapa bagian dan beberapa busapun sudah meronta-ronta untuk keluar.
Suasana tampak remang remang, Nur melihat di sekeliling ruangan lalu dia tertarik dengan beberapa bingkai foto yang berada di sebuah partisi kayu. Dia bangkit dan melihat beberapa foto sosok wanita tua tadi dan beberapa foto sosok wanita cantik yang terlihat seumuran dengannya.
Ada yang menarik perhatian Nur saat melihat foto-foto wanita tadi. Perubahan yang terjadi padanya, entah apa yang membuat Nur merasa penasaran namun tidak bisa menemukan jawaban yang tepat.
"Cantik bukan anak ibu, namanya Anisa dan dia seumuran denganmu Nur."
Nur meletakkan foto Anisa dan menoleh pada wanita tua yang sudah berdiri dihadapannya dengan membawa dua cangkir teh hangat di sebuah nampan.
"Ibu...?"