36 Jam Sebelum Kiamat.
"Apa yang kamu lihat?" Tanya Ana pada Bagas yang masing-masing mereka sedang sibuk mengumpulkan ranting di tepi hutan.
"Lihat apa?" Bagas bertanya balik.
"Kamu melihat dengan berbeda pada orang-orang seperti aku saat dikepolisian."
Bagas berhenti sejenak lalu menatap Ana saat mendengar ucapannya.
Anapun menatap Bagas, "Lupakan Gas kalau itu mengganggumu."
"Apa yang mereka cari? Kesenangan tanpa batas atau kehidupan tanpa aturan? Mereka tidak pernah belajar kalau semuanya akan berakhir dengan hinaan, cacian dan yang terburuk adalah berada dibalik jeruji besi." Bagas kembali melanjutkan aktivitasnya.
Ana masih menatap Bagas, "Apakah kamu percaya kalau aku bilang, merekapun mencari cinta, mencari sosok yang mau mencintai dan menerima mereka dengan tulus."
"Kamu tahu perdebatan kita ini tidak akan pernah berujung, kita berdiri disisi jalan yang berbeda." Bagas memotong ucapan Ana.
Ana mendekat kearah Bagas dan berdiri dibelakangnya, "Dulu ketika kita masih kecil, kamulah yang selalu membelaku saat anak-anak lain merudungku, mengejekku dengan kata banci atau melempari krikil padaku."
"Dan aku hanya ingin tahu apakah sosok itu masih sama dan akan tetap membelaku jika hal itu terjadi pada diriku sekarang."
"Jadilah sahabatku, jadilah saudaraku dan berjalanlah di sisi jalanku untuk sehari agar kamu bisa melihat sisi hidupku dan orang-orang sepertiku yang tidak banyak kamu tahu."
Bagas menoleh pada Ana, "Lalu, apa yang kamu harapkan setelah aku melihat sisi hidupmu yang lain dan orang-orang sepertimu."
"Hanya ingin kamu tahu, bahwa kami juga manusia biasa seperti kalian, yang mencoba menjalani hidup ini sebaik mungkin dan kamipun juga manusia yang tidak akan pernah luput dari dosa. Jangan pernah menilai kami jika kamu tidak pernah tahu kisah dibalik hidup kami." Ana tersenyum dan menepuk pundak Bagas dengan lembut lalu meninggalkan dia sendiri ditepi hutan.
Bagas menatap kepergian Ana dan bergumam sendiri, "Andai kamu tahu kesalahanku, mungkin kamu tidak akan pernah memaafkanku."
***
180 Hari Sebelum Kiamat.
Rini melangkah keluar meninggalkan meja makannya dan berjalan menuju jalan restoran yang berada ditepi pantai. Dia berhenti di pagar pembatas kayu, yang memisahkan batu-batuan dengan ombak yang cukup kencang malam itu. Dia terdiam, menatap kearah laut lepas yang hanya ada kegelapan disana.
"Aku pikir kamu tidak akan berani lagi menampakkan dirimu dihadapanku." Ucap Bagas dengan berjuta cara agar tetap tenang dihadapan Rini, walapun mantan tunangannya itu telah menghilang dan membuat hidupnya bagai dineraka selama enam bulan ini.
"Kenapa? Bukan aku yang seharusnya takut. Dendamku sudah terbalaskan Gas, jika sedetik kedepan kamu menembak kepalaku, aku tidak akan takut." Rini berbalik menatap Bagas dengan angkuhnya.
"Kamu sudah puas dengan dendammu? Aku sudah kehilangan semuanya, karirku dikepolisian sudah hancur dan pernikahan kita yang batal telah mencoreng harga diriku. Apakah kamu sudah puas." Teriak Bagas yang akhirnya melepas amarahnya.