35 Jam Sebelum Kiamat.
Raihan membuka pintu gubuk lalu masuk kedalamnya dan menutup pintu kembali. Dia menyalakan senter di handphonenya agar bisa melihat sosok yang berada di ranjang kayu yang sedang menatap dirinya.
"Waktu sudah menipis, kenapa kamu tidak mengatakan kepadaku siapa diantara mereka yang mengetahui keberadaan bunkernya?" Raihan duduk di kursi mengahadap sosok misterius dihadapannya.
Sosok misterius itu tersenyum lalu menertawakan pertanyaan dari Raihan.
"Kamu tahu aturannya, kenapa masih mempertanyakannya? Apa kamu tidak mempercayaiku?"
Dengan penuh emosi, tiba-tiba Raihan mencekik leher sosok misterius itu, "Kamu pikir setelah kebohongan demi kebohongan yang kamu lakukan kepadaku, aku masih mempercayaimu?"
Raihan baru melepas jemari tangannya dari leher sosok misterius itu saat melihat wajah dan tatapan tidak berdayanya. Dia lalu duduk dan menatap sosok misterius itu yang sedang kesakitan dan tebatuk-batuk.
"Itu bukan kebohongan, tapi kenyataan pahit yang harus kamu jalani. Itu sebuah kebenaran walau menyakitkan yang harus kamu tahu." Sosok misterius itu menunjuk gelas dimeja sampingnya seolah-olah memberi perintah pada Raihan untuk membantunya meminum air didalamnya.
Dengan perasaan masih kesal, Raihan mengambil gelas dan membantu sosok misterius itu untuk minum lewat sedotan.
"Mungkin seandainya kecelakaan itu tidak terjadi, semuanya pasti berbeda." Gumam Raihan yang disambut cengkraman erat dan tatapan tajam serta amarah dari sosok misterius itu yang menyebabkan gelas jatuh dari tangan Raihan.
"Ingat itu bukan kecelakaan, kamu yang membunuh mereka. Temanmu, rekankerjamu dan tunangan Rani."
Mereka saling menatap tajam. Raihan berusaha melepaskan cengkraman sosok misterius itu namun sia-sia.
"Kita yang membunuh mereka. Kita!" Teriak Raihan pada sosok misterius itu.
***
180 Hari Sebelum Kiamat.
Ahmad Raihan Prasetya berdiri dan menatap kemacetan kota Surabaya dari ruangan kerjanya yang berada di lantai paling atas, disebuah gedung milik perusahaan mertuanya. Tubuhnya tampak sedikit lebih kurus dibandingkan beberapa bulan lalu, yang hampir mencapai seratus sepuluh kilo waktu itu. Wajahnya tampak begitu lelah, pekerjaan demi pekerjaan juga rapat di luar kota dia jalani hingga menguras energinya. Sebuah kesengajaan yang di lakukan oleh mertuanya, pak Tjandra agar Raihan tidak memiliki waktu untuk Sisca, istrinya dan Antony, putranya.
Kenangan Raihan kembali pada malam natal tiga tahun lalu di Massachusetts. Saat itu dia dan tiga rekan kerja sekaligus sahabatnya sedang dalam perjalanan pulang dari bar. Malam itu, adalah giliran Raihan untuk membuat dirinya tetap sadar tanpa minuman alkohol agar bisa mengantar pulang teman-temannya dengan aman. Menjelang tengah malam, jalanan sudah mulai tampak licin dan sepi, hanya rintik hujan salju menemani Raihan malam itu, memegang kendali mobil dengan Josh duduk disampingnya dan Carla serta Mark duduk dikursi dibelakang, semua tidak sadarkan diri karena terlalu mabuk.
Kehadiran seekor rusa di tengah jalan mengagetkan Raihan yang setengah mengantuk saat menyetir. Dia membanting setir ke arah kanan dan mengerem mobilnya untuk menghindari turunan bukit, namun terlambat. Mobil Raihan menuruni bukit dengan kencang, menerabas beberapa semak semak lalu masuk kedalam danau yang membeku dan meluncur lalu berputar putar kearah tengah danau yang saat itu sedang membeku.
Mobil berhenti di tengah danau, Raihan yang masih shock mencoba mengatur nafasnya dan menenangkan dirinya. Dilihatnya teman-temannya yang masih tidak sadarkan diri dan tidak terganggu dengan kejadian yang baru saja mereka alami.
Raihan melihat sekelilingnya yang tampak gelap, hanya cahaya dari lampu mobilnya yang menerangi danau beku didepannya. Dia terkejut saat mendengar seperti suara retakan es, lalu dia membuka kaca jendela mobil untuk memastikannya, dan suara retakan es itu terdengar kembali.
Setelah menutup kaca jendela mobil, Raihan bergerak dengan hati-hati meraih handphonenya. Segera dia meminta bantuan 911.
"Halo, 911." Ucap petugas di ujung telpon.