cerita sebelum kiamat

Bramanditya
Chapter #14

30 Jam Sebelum Kiamat : Ledakan Kedua

30 Jam Sebelum Kiamat.

Aryo dan Nur berjalan menghampiri Bagas dan Ana yang sedang berdiri membelakangi mereka, tidak jauh dari bibir pantai.

"Kenapa kalian berdiri disini?" Tanya Aryo heran

sambil menatap mereka berdua dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Ana menggengam tangan Bagas saat mereka berpaling pada Nur dan Aryo, memberikan isyarat agar Bagas menahan emosinya.

Namun amarah Bagas sudah tidak bisa terbendung. Dia menghampiri Aryo dan dengan tiba-tiba memukul wajahnya hingga Aryo jatuh tersungkur.

"Bagas kamu kenapa?" Nur yang terkejut dengan aksi Bagas menghampiri Aryo dan membantunya berdiri.

"Sudah Gas" Ana menarik tangan Bagas yang hendak memukul Aryo untuk kedua kalinya.

"Jangan mempermainkan perasaan Nur, bagaimana kalau kekasihmu Diana tiba-tiba muncul dihadapanmu" Teriak Bagas pada Aryo.

"Bagas!" Nur berteriak pada Bagas.

Aryo hanya terdiam menatap Bagas sambil mengusap darah yang keluar dari ujung bibirnya.

"Tadinya aku berharap kamulah yang akan menjadi jawaban atas pertanyaan tentang siapa yang Nur pilih, dan memberikan kebahagiaan baginya sebelum kiamat lusa"

"Banyak luka yang telah Nur alami karena kita, dan aku tidak mau dia terluka kembali saat kamu lebih memilih kekasih mu".

Ucapan Bagas membuat Nur tampak emosi dan menitikkan air mata. Dia menghampiri Bagas dan menamparnya dengan keras lalu pergi meninggalkan mereka.

"Nur". Ana berteriak dan berlari menyusul Nur.

Aryo dan Bagas berdiri saling berhadapan dalam keheningan. Lalu Raihan muncul ditengah-tengah mereka dengan wajah kebingungan.

"Apa yang sedang terjadi?"

Aryo dan Bagas tidak menjawab pertanyaan Raihan.

"Jangan jadikan dia pilihan keduamu" Ucap Bagas sambil melangkah meninggalkan Aryo dan Raihan.



***

Khalil masuk kedalam pondok dan menghampiri sosok misterius di ranjang kayu lalu duduk disampingnya.

"Mereka sedang bertengkar hebat dibawah, haruskah aku kesana?"

Sosok misterius itu tersenyum pada Khalil, "Bukan hal ini yang akan membunuh mereka Kha. Ikatan yang kami miliki terlalu kuat hanya untuk dihancurkan oleh sebuah cinta segitiga".

"Keluarlah kalau situasi sudah aman, sebentar lagi kamu bisa melihat komet kedua melintas dan akan menghantam bumi" Lanjut sosok misterius.



***

Nur dan Ana duduk di pantai yang berada disisi lain pulau, yang dipisahkan oleh tebing besar tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama melihat senja.

Ana hanya terdiam duduk disamping Nur dan membiarkannya menangis untuk beberapa saat.

"Kamu pasti berpikir bahwa ini semua adalah sebuah kekonyolan". Nur mulai tampak tenang dan mengusap semua air mata yang membasahi pipinya.

"Apa maksudmu, aku tidak mengerti ?" Ana menatap Nur dengan wajah bingungnya.

Dengan sedikit memaksakan diri, Nur tersenyum, "Kegaduhan yang terjadi antara kami bertiga menjelang kiamat lusa".

"Bukankah ini lebih baik, menyelesaikan masalah kalian yang ada didunia ini, sebelum kalian menghadapi masalah baru diakhirat nanti".

Mendengar ucapan Ana, Nur menatapnya dengan terkejut , lalu mereka berdua saling tersenyum.

"Sejak awal kamu mencintai Aryo, hanya saja ada Bagas diantara kalian. Dan itulah yang menjadi masalahnya sekarang..."

"Bukan sekarang, sebenarnya masalah itu sudah selesai ketika aku menikah dengan Bram. Hanya saja ada ruang di hatiku yang masih berharap pada cinta Aryo" Nur memotong ucapan Ana.

"Mungkin keputusanku menikah dengan Bram membuat hati mereka hancur, dan menjadi titik balik bagi mereka untuk menemukan cinta yang baru" Lanjut Nur.

"Dan itu membuatmu hancur untuk kedua kalinya".

Dengan wajah terkejut, Nur menatap Ana seolah-olah belum benar-benar paham dengan maksud ucapan dari Ana.

"Pernikahanmu dengan Bram sebenarnya adalah awal kehancuran hati dan hidupmu, bukan akhir ceritamu dengan Aryo dan Bagas". Lanjut Ana yang disambut dengan deraian air mata Nur.

Ana segera merangkul pundak Nur untuk meredakan hatinya yang sedang porak poranda menjelang kiamat lusa.

Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan sebuah cahaya dari langit yang tampak kecil yang dengan perlahan melintas diatas meraka menuju lautan.

Dengan erat, Ana menggenggam tangan Nur lalu merebahkan kepalanya di bahunya.

"Andaikan itu adalah bintang jatuh seperti yang sering kita lihat disini, saat waktu kita kecil dan berdoa meminta permohonan".

Nur tersenyum, "Lalu keajaiban apa yang akan kita minta, membatalkan kiamat lusa?".

Mereka berdua tertawa.

"Entahlah, mungkin menemukan bungker ini dan membuat kita semua selamat". Ana tiba-tiba mengeluarkan peta yang pernah dia tunjukkan pada Nur.


***

Raihan menyodorkan sekaleng bir pada Bagas yang sedang duduk termenung diatas tebing sambil menikmati rokok ditanganya.

Dia tampak terkejut dan menatap sekilas bir dari tangan Raihan lalu berpaling ke wajahnya.

"Ini...?"

Raihan tersenyum dan mengangguk pada Bagas yang dengan segera meraih bir itu, membukanya lalu meneguknya.

"Dulu ini adalah pelarian yang sempurna" Ada kepuasaan saat mata Bagas menatap sekaleng bir ditangannya, "Seperti bertemu dengan teman lama".

Raihan tersenyum menatap sahabatnya menikmati tetes terakhir bir pemberiannya lalu melempar kaleng itu kearah laut.

Suasana menjadi hening, hanya suara dari mulut Bagas yang sibuk menghisap rokok ditangannya.

"Dulu aku begitu terobsesi padanya".

Dengan sabar, Raihan mendengarkan Bagas yang mulai mencurahkan perasaannya tanpa mencoba untuk menginterupsinya.

"Sebuah obsesi yang membutakan hatiku hingga aku mengabaikan segala petunjuk bahwa sebenarnya dia lebih menginginkan perhatian dari Aryo".

"Darimana kamu tahu itu sebuah obsesi dan bukan sebuah perasaan cinta?".

Bagas menatap Raihan dan tersenyum mendengar pertanyaannya.

"Seperti saat perasaanmu mengatakan kalau kamu jatuh cinta dengan wanita yang sekarang menjadi istrimu".

Raihan tersenyum dan mengangguk.

"Harusnya aku tidak memaksakan hadir di tengah-tengah mereka. Harusnya aku membiarkan mereka bersatu".

"Dan mungkin jalan cerita Nur akan berbeda".

Bagas berjalan menuju tepian tebing disusul Raihan saat sebuah cahaya kecil diatas langit melintas diatas mereka tengah lautan.

"Takdir Gas, kita tidak bisa merubah takdir". Ucap Raihan sambil menepuk punggung Bagas.

Sementara didalam gubuk yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Khalil dan sosok misterius itu saling menatap mendengar ucapan Raihan.

"Terkadang kita harus berbohong untuk sebuah kebaikan Kha". Ucap sosok misterius itu pada Khalil.


***

Aryo memperlambat laju mobilnya dan menepi di pinggir jalan yang tampak sunyi dan gelap, hanya cahaya dari lampu mobilnya yang menerangi jalan didepannya. Dipegangnya bibirnya yang terluka akibat pukulan dari Bagas.

Dia mengeluarkan handphone dari saku jaketnya dan memeriksa apakah ada pesan masuk atau sekedar panggilan singkat dari Diana. Namun hanya ada pemberitahuan daya baterai yang tinggal sepuluh persen. Aryo tampak kecewa dan menyandarkan kepalanya di kemudi mobil. Aryo terkejut saat sebuah panggilan terdengar dari handphonenya, dilihatnya nama Raihan dilayarnya.

"Halo Han".

"Dimana Yok?'. Tanya Raihan di sebrang telpon.

"Aku dalam perjalanan ke rumah, mungkin aku akan bermalam disana, besok pagi aku akan ke pantai dengan bapak dan ibu sekalian". Jawab Aryo.

"Kamu baik-baik saja kan Yok?".

Hening sesaat.

"Aku baik-baik saja Han".

"Baiklah, hati-hati Yok".

Aryo menutup telponnya lalu menyalakan mesin mobilnya dan melanjutkan perjalanan menuju rumah panti.

Beberapa menit kemudian Aryo sampai di rumah panti dan memarkirkan mobilnya di samping mobil Bagas. Dia terkejut saat mendapati pintu depan mobil bagas sudah pecah dan bagasi mobil bagas sudah terbuka. Dia memeriksa mobil Bagas sebentar lalu membiarkannya dan menuju ke rumah.

Aryo berhenti di tangga masuk dan menatap keatas langit saat sebuah cahaya kecil melintas diatasnya. Dia baru sadar cahaya itu tampak begitu terang karena rumah dalam keadaan gelap gulita. Perlahan dia menaiki tangga dan menuju pintu depan yang sedikit terbuka, membuatnya terkejut.

Dibukanya pintu itu perlahan dan diambilnya handphone dari saku jaketnya lalu menyalakan senter lalu mencari keberadaan bapak dan ibu.

Lihat selengkapnya