24 Jam Sebelum Kiamat
Dengan hati-hati, Nur berjalan menaiki tebing ditengah hari yang masih gelap, hanya untuk melihat keindahan matahari terbit yang beberapa menit lagi akan menunjukkan aksinya. Dirapatkannya selendang di pundaknya untuk melawan udara dingin pagi itu dan angin yang berhembus cukup kencang. Dia terkejut saat melihat Bagas sudah duduk di kapal yang berada di tengah tebing, menatap termenung kearah matahari yang masih belum menampakkan dirinya.
"Aku mengacau!" Ucap Bagas masih dengan tatapan menerawang kedepan, walaupun dia sadar dengan kedatangan Nur yang berjalan kearahnya lalu duduk disampingnya.
"Lagi," Lanjutnya
Nur menatap wajah Bagas sesaat lalu tersenyum dan diraihnya lengan Bagas dan menyadarkan kepalanya disana, juga dengan tatapan menerawang kedepan.
"Aku tidak pernah merasa dirimu membuat kekacauan, karena aku tahu kamu hanya ingin melindungiku."
"Tapi aku selalu gagal..."
"Dan itu bukan salahmu," Ucap Nur tegas memotong kalimat Bagas.
"Kalau harus ada yang disalahkan, akulah seharusnya, karena aku yang memilih Bram dan aku juga yang mencoba bermain api dengan Aryo."
Bagas berpaling menatap Nur, sedikit terkejut dengan ucapannya.
"Mungkin semua tidak sama lagi sejak aku melukai hati kalian dengan memilih Bram. Sebuah keputusan yang aku buat yang mempertemukanmu dengan Rini, cinta matimu. Dan Aryo yang akhirnya menemukan tambatan hatinya."
"Tapi kamu masih dan akan selalu menjadi ratu kami dan kami akan selalu menjadi ksatria yang akan selalu menjagamu," Bagas mengusap lembut air mata Nur.
Nur tersenyum dan meraih tangan Bagas.
90 Hari Sebelum Kiamat
Nur membuka tirai ruang tamu Bagas, dan membiarkan sinar matahari jatuh ke tubuh bagas yang masih tidur terlelap di sofa dengan selimut menutupi seluruh badannya.
Bagas mengintip dari balik selimutnya dan melanjutkan tidurnya saat tahu Nur yang masuk kedalam kontrakan rumahnya. Dia tidak merasa terganggu dengan keberadaan Nur yang sedang merapikan kontrakannya yang tampak kacau, bahkan dia merasa merindukan hal tersebut karena semenjak Nur menikah mereka hampir tidak pernah bertemu, hanya saling berkomunikasi lewat telepon.
Wajah Bagas tampak lebih segar saat keluar dari kamar mandi dan tampak lebih rapi. Segera dia duduk di sofa dan dengan lahap menyantap nasi dengan sayur lodeh yang sudah Nur persiapkan di meja
"Temani aku Nur," Pinta Bagas pada Nur yang terlihat sudah selesai merapikan kontrakan Bagas setelah satu jam.
Nur segera duduk disamping Bagas lalu menyalakan telivisi didepannya.
"Kamu sudah membalas pesan dari Aryo?" Tanya Bagas disela-sela menikmati sepiring nasi ditangannya.
Nur menggeleng, "Kamu?"
Bagaspun juga menggeleng menjawab pertanyaan dari Nur.
"Kira-kira apa yang akan dia bicarakan nanti?"
Tiba-tiba pipi Nur merona merah saat Bagas malah tersenyum menggodanya bukan menjawab pertanyaan darinya.
"Aku berharap seandainya kalian bertemu lagi nanti, jangan menutupi perasaan kalian. Sekarang hanya ada kamu dan Aryo tanpa aku, ingat itu."
"Apa yang kamu bicarakan Gas," Protes Nur, "Kita tidak tahu apa-apa tentang Aryo saat ini," Lanjutnya.
"Maksudmu apakah Aryo masih sendiri atau sudah memiliki kekasih," Bagas menggoda Nur kembali.
Dengan reflek Nur mencubit paha Bagas dan Bagaspun hanya merintih kesakitan
Tiba-tiba Bagas menunjuk kearah televisi, "Mungkin itu yang akan Aryo bicarakan dengan kita."
Nur menoleh kearah televisi dan seorang pria sedang menyampaikan berita dengan wajah tampak serius.
"Nasa telah kehilangan kontak dengan pesawat luar angkasa HOPE I dan sampai saat ini pihak Nasa belum memberikan keterangan apapun mengenai kejadian tersebut ataupun rumor tentang HOPE I yang meledak terkena serpihan dari Asteriod William. HOPE I sendiri adalah salah satu dari pesawat luar angkasa yang memilki misi untuk menghancurkan Asteroid William yang diperkirakan akan memasuki atmosfir bumi dalam waktu tiga bulan kedepan..."
Sejenak mereka berdua terdiam dan terpaku dengan berita tersebut.
Bagas melanjutkan suapannya, "Kamu masih percaya pada mereka setelah kebohongan demi kebohongan yang mereka buat dan segala kebenaran yang mereka sembunyikan?"
Nur masih terdiam terpaku melihat dan mendengar berita di televisi.
"Mereka hanya ingin mengurangi kepanikan di masyarakat dengan melakukan aksi seperti yang ada di film-film hollywood, yang mustahil keberhasilannya," Lanjut Bagas
"Maksudmu pesawat HOPE II pun tidak akan berhasil dengan misinya?"
Bagas tersenyum mendengar pertanyaan dari Nur dan segera merapikan piring di meja setelah selesai dengan makannya. Diraihnya segelas teh hangat buatan Nur di meja.
"Dan kiamat akan tetap terjadi?" Nur menatap Bagas dengan wajah serius.
Bagas mengangguk, "Kiamat bagi orang yang tidak selamat Nur, tapi bagi orang-orang yang selamat mungkin ini hanya sebuah bencana sesaat."
"Maksudmu isu tentang tempat perlindungan itu benar-benar ada?" Nur semakin penasaran.
"Itu bukan isu lagi tapi sebuah kebenaran yang memang sedang terjadi dan pemerintah sudah melakukan seleksi pada orang-orang yang akan mereka selamatkan."
Mereka berdua saling menatap.
"Dari yang aku tahu, orang-orang terpilih akan dihubungi langsung oleh pemerintah dan memberikan barcode ditubuh mereka."
"Dan kita sudah pasti tidak akan masuk didalamnya," Lanjut Bagas yang disambut senyuman oleh Nur.
"Mungkin mereka mencari orang-orang terbaik yang memiliki kemampuan atau bakat untuk membangun bumi kembali setelah ledakan nanti."
Bagas tersenyum sinis mendengar ucapan Nur, "Dan memiliki uang dan kekuasaan tentunya."
"Dalam situasi apapun, orang-orang seperti itu akan selalu ada," Lanjut Bagas.
Mereka berdua terdiam sejenak, menatap kearah televisi dengan serius.
"Kamu baik-baik saja Nur?" Pertanyaan Bagas memecah keheningan diantara mereka.
Dengan lembut Bagas meraih tangan Nur seolah-olah ingin memberikan kekuatan padanya.
"Aku baik-baik saja Gas," Jawab Nur dengan senyumannya.
"Lalu kenapa baru tempo hari kamu memberitahuku tentang kondisimu dengan Bram yang sebenarnya, jujur aku sedikit kecewa , aku tidak terima perlakuan Bram padamu," Ada rasa amarah yang besar dari sorot mata Bagas, "Kenapa kamu harus merahasiakannya Nur, padahal selama ini aku tidak pernah merahasiakan apapun darimu, tentang Rini dan balas dendamnya juga pemecatanku dari kepolisian."
Nur menggenggam tangan Bagas dan mencoba untuk tersenyum agar Bagas sedikit tenang.
"Maafkan aku Gas, bukannya aku ingin merahasiakannya padamu, tapi kamu tahu sendirikan bagaimana mas Bram dan sosok disekelilingnya."
"Aku tidak takut pada Bram dan orang-orang disekelilingnya, selama ini aku selalu menjagamu..."
"Aku tahu, karena kamu ksatria penjagaku," Potong Nur tiba-tiba.
"Dan aku merasa gagal Nur."
"Yang gagal adalah pernikahan kami Gas," Nur terdiam sejenak, "Dan aku sudah mengambil keputusan untuk segera mengakhirinya."
Ada perasaan terkejut sekaligus lega tergambar dari wajah Bagas yang sedang menatap Nur.
"Kamu tidak perlu kembali kesana Nur, kamu aman bersamaku disini, dia tidak akan berani menampakkan batang hidungnya dihadapanku. Kalau perlu aku akan membuat dia membayar semua perlakuan..." Tiba-tiba Bagas menghentikan kalimatnya.
"Perlakuan kejam tanpa alasan..," Nur melanjutkan kalimat Bagas dengan senyum sinisnya.
"Aku akan menghabisinya untukmu," Bagas memegang kedua tangan Nur.
"Aku akan melakukannya sendiri Gas, untukku dan untuk semua perempuan yang pernah dia sakiti. Aku berjanji dia akan membayar semua perlakuan kejamnya."
"Kamu tidak perlu mengotori tanganmu, biar aku yang melakukannya," Sekali lagi Bagas memohon.
"Hidup Bram dikelilingi dengan uang dan kekuasaan, aku takut dia akan selamat dari kiamat nanti. Dan aku harus memastikan dia akan membayar dulu semua dosa-dosanya sebelum kiamat nanti tiba. Aku ingin balas dendamku nanti akan menjadi hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya, melebihi kiamat nanti."
Bagas mengehela nafas dan menyerah meyakinkan Nur, "Lalu apa yang bisa aku lakukan untukmu."
Nur menatap Bagas dalam diam untuk sesaat, menata kalimatnya untuk menjawab pertanyaanya.
"Berikan aku senjata api dan ajari aku untuk menggunakannya."
Bagas terkejut mendengar ucapan Nur.
"Dan ajari aku untuk melawan seorang monster."
***
Mira dan Sapto yang sedang sibuk memasukkan barang-barang kedalam mobil terkejut dengan kedatangan mobil Nur di depan rumah mereka.
"Nur," Sambut Sapto ramah dengan senyuman saat Nur menghampiri mereka berdua. Dia lalu memegang lembut bahu Mira dan tersenyum padanya lalu meninggalkan mereka berdua.
Ada rasa canggung diantara mereka saat berhadapan langsung.
"Maafkan aku Mir, aku tahu kamu marah padaku karena kejadian beberapa bulan lalu..."
Tiba-tiba Mira memeluk Nur dan membuat Nur menitikkan air mata.
"Lupakan Nur, lupakan. Aku tidak marah padamu hanya sedikit kecewa saja," Mira menatap Nur dan menghapus air matanya, "Waktu itu aku berharap kamu tidak meminta dan memohon padaku untuk mencabut laporan kepolisian mas Sapto dan memberikan pelajaran pada Bram karena melakukan penganiayaan pada suamiku."
Nur mengangguk, "Aku tahu Mir, hanya saja aku takut mereka akan melakukan hal yang lebih kejam untuk balas dendam."
"Bram?" Tebak Mira
Nur menggeleng, "Ibunya mas Bram, kamu tahukan dia dekat dengan orang-orang yang punya kekuasaan."
Mira tersenyum, "Kami tidak takut pada siapapun Nur, apalagi kalau itu menyangkut dengan keselamatanmu, kami akan tetap berjuang walapun berhadapan dengan sosok seperti ibunya Bram."
"Tapi bagaimana kami bisa berjuang, kalau orang yang ingin kami selamatkan malah tidak mau berjuang untuk dirinya sendiri," Lanjut Mira.
Nur menggenggam erat kedua tangan Mira, "Maafkan aku yang begitu bodoh dan tidak berdaya waktu itu."
"Berjuanglah untuk kebahagiaanmu Nur, dan jangan khawatirkan orang-orang disekitarmu, mereka bisa menjaga dirinya sendiri."
Nur kembali mengangguk dan mencoba untuk tersenyum, "Mungkin ini sedikit terlambat Mir, tapi aku akan segera meninggalkan mas Bram dan bercerai dengannya."
Mira terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar dari bibir Nur lalu segera memeluk sahabatnya itu sambil terisak.
"Syukurlah Nur, aku lega dan bahagia mendengarnya. Tidak ada kata terlambat Nur untuk berjuang demi nyawamu dan mengejar kebahagiaanmu."
"Paling tidak aku masih memiliki kesempatan untuk bahagia kembali walau hanya sebentar."