22 Jam Sebelum Kiamat
Semuanya terdiam, duduk di gazebo sambil menatap ombak yang mulai membesar gelombangnya.
"Aku selalu penasaran apa yang menanti kita nanti?" Ana membuka pembicaraan, "Kiamat semakin dekat, dan perasaan gelisah itu semakin sering datang."
"Gelisah karena takut? Takut akan apa?" Tanya Raihan balik.
"Surga atau neraka tentunya Han, apalagi yang akan menanti kita?" Protes Nur.
"Dia tidak percaya keduanya Nur."
Nur dan Bagas terkejut mendengar ucapan Ana.
"Benar Han?" Nur menatap Raihan.
Bagaspun juga menatap Raihan, "Gila kau Han, kalau sampai bapak tahu, bisa dipukul kamu dengan bambu."
Semua menatap Bagas balik lalu tertawa bersama.
"Untuk urusan yang satu ini bapak tidak kenal kompromi."
"Iya benar." Nur membenarkan ucapan Ana, "Kita tahu bagaimana bapak selalu membanggakan dirimu kepada semua orang dalam hal agama."
"Dan lihatlah sekarang sang anak emas guru agama kita dulu." Timpal Bagas dengan senyum sinisnya lalu disambut tawa semuanya.
"Apapun yang kita percaya, semuanya akan terjawab besok?"
Kalimat Raihan membuat semua kembali terdiam dan kembali menatap ombak.
Suara perut Raihan yang lapar membuat yang lain terkejut dan tertawa.
"Dimana Aryo? , Kenapa lama sekali dia?" Gerutu Raihan.
"Han Han, bisa-bisanya disaat seperti ini perutmu tidak bisa berkompromi." Ledek Bagas.
Raihan bangkit berdiri, "Hei, tidak peduli besok kiamat kita tetap harus makan. Jangan sampai kita mati konyol karena kelaparan, bukan karena kiamat."
"Ih... Dasar." Ana melempar selendangnya pada Raihan, "Mungkin bapak dan ibu sedang menyiapkan makanan buat kita."
"Ada yang sudah menghubungi Aryo atau bapak dan ibu?"
Bagas menangkap kecemasan dalam wajah Nur, "Kelihatannya listrik dan sinyal sudah padam, aku lihat tidak ada sinyal dari handphoneku dari tadi."
Nur segera melihat handphone nya dan dia tampak kecewa saat tidak terlihat sinyal dilayarnya.
"Handphoneku sudah mati dari kemarin," Ana bangkit berdiri lalu berjalan menuju kearah warung kosong tidak jauh dibelakang gazebo, "Mungkin di tasku masih ada beberapa roti."
"Aku bantu cari," Raihan menyusul Ana.
Bagas menatap Nur yang tampak gelisah, "Ada apa?"
"Aku meninggalkan senjata apiku di dasbord mobil kita," Nur menatap Bagas dengan wajah cemas, "Dimana senjata apimu?"
"Nur tenang..."
"Gas..."
"Senjataku ada di dalam tas," Bagas menunjuk tasnya yang berada sama di tempat tas yang lainnya.
"Dia sudah mati Nur."
"Bagaiamna kalau dia masih hidup," Bantah Nur dengan perasaan gelisah.
"Nur..." Bagas mencoba menenangkan Nur.
"Dia seorang monster, harusnya kita tarik jantungnya keluar untuk memastikan dia sudah mati," Ucap Nur dingin.
***
7 Hari Sebelum Kiamat.
Nur terkejut saat gagang pintu kamarya bergerak dan seseorang berusaha membukanya. Nur yang selalu menatap kearah pintu kamarnya dengan ketakutan, segera turun dari ranjang dan mengambil lampu tidur di meja kamarnya lalu bersiap-siap menyerang siapapun yang berusaha masuk.
"Nur...?" Suara seorang perempuan memanggil namanya dari luar. Nur perlahan mendekat ke pintu namun tetap siaga walaupun sepertinya dia mengenali suara perempuan itu.
"Nur... ini ibu Yanti, kamu ingat ibu Nur?"
Wajah Nur tampak lega saat mengetahui sosok dibalik pintu adalah ibu Yanti, segera dia mendekat ke arah pintu dan meletakkan lampu kamarnya.
"Nur ingat bu," Nur terisak, "Ibu, tolong bantu Nur keluar dari kamar ini."
"Baik Nur, ibu cari kuncinya dulu."
Sepuluh menit berlalu, Nur mundur beberapa langkah dan mengambil lampu kamarnya kembali saat seseorang memasukan kunci lalu berhasil membuka pintu kamarnya.
"Nur..." Ibu Yanti muncul dari balik pintu dan terkejut melihat keadaan Nur yang penuh luka dan tampak pucat.
Nur segera berlari kearah ibu Yanti dan memeluknya.