21 Jam Sebelum Kiamat
Ana mengatur nafasnya setelah kelelahan menaiki anak tangga menuju sebuah gazebo yang berada di sebuah bukit. Dia menghampiri Bagas yang sedang berdiri termenung menatap lautan lalu ia berdiri disampingnya.
"Semuanya baik-baik saja? Aku tidak pernah melihatmu marah atau bertengkar dengan Nur," Ana menatap Gazebo dibawah mereka tempat Nur sedang duduk termenung.
Bagas masih terdiam tidak menanggapi pertanyaan dari Ana.
Melihat Bagas yang hanya terdiam, Ana meletakkan sebungkus roti dan botol air dia samping Bagas,
"Apapun masalah kalian, cepat selesaikan, jangan sia-siakan waktu kita yang tinggal sebentar ini hanya untuk sebuah amarah yang tidak ada gunanya."
Bagas meraih tangan Ana yang hendak melangkah pergi meninggalkannya, "Aku telah melakukan hal buruk."
"Aku bukan orang baik seperti yang kamu kira, aku telah menghilangkan nyawa seseorang," Lanjut Bagas sembari menatap Ana.
"Seorang penjahatkah? Bukankah itu sudah menjadi tugasmu walau dalam keadaan mendesak sekalipun." Ana kembali mendekat ke sisi Bagas yang terdiam menatap Ana, seolah- olah ada keraguan dalam dirinya untuk berbicara jujur pada Ana.
"Aku menghancurkan hidup seseorang hingga membuatnya memilih mengakhiri hidupnya sendiri."
Ana hanya menatap Bagas dengan wajah bingungnya.
"Aku menjebak..."
"Orang-orang seperti aku dan memanfaatkan ketakutan mereka untuk memperoleh uang dari rasa putus asa mereka."
Kali ini giliran Bagas yang terkejut dengan ucapan Ana,
"Bagaimana kamu tahu..?"
"Jadi kamu bagian dari mereka? Para penegak hukum yang seharusnya melindungi tapi malah menebar ketakutan," Ana menatap tajam Bagas, "Katakan padaku kalau kamu melakukan itu semua hanya karena uang bukan karena rasa bencimu pada orang-orang sepertiku. Walaupun itu semuanya membuatku muak."
"Aku..." Tiba-tiba Bagas tidak bisa berkata apa-apa dihadapkan Ana.
"Ana..."
Teriakan Bagas tidak bisa menghentikan langkah Ana untuk meninggalkannya dengan rasa kecewa.
***
7 Hari Sebelum Kiamat.
Bagas meletakkan rangkaian bunga di sebuah nisan yang tampak bersih, sepertinya seseorang selalu merawat nisan ini dengan baik.
"Maafkan aku..." Ucap Bagas lirih, "Aku..."
Suasana menjadi hening, Bagas tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Dia dikejutkan dengan kehadiran seorang lelaki setengah baya yang berjalan lalu berdiri disebrangnya.
"Bapak."
Pak Ariyanto tersenyum pada Bagas lalu dia meletakkan karangan bunga diatas makam putranya dan membersihkan makam itu dengan kain yang dia bawa dari rumah. Setelah tampak bersih, dia menyiram makam dengan sebotol air dan membersihkan tangannya yang kelihatan kotor.
"Duduk sebentar Gas, temani bapak."
Bagas menghampiri pak Ari yang duduk di nisan yang bersebelahan dengan nisan anaknya dan duduk disebelahnya.
"Kenapa bapak masih disini? Bapak tidak ikut dengan Rini?"
Pak Ari tersenyum dengan pertanyaan Bagas, "Terakhir kali bapak bertemu dan berbicara dengan Rini adalah dimalam dia menceritakan semua rencana balas dendamnya padamu dan melaporkanmu keesokan harinya."
"Itulah kenapa kamu tidak pernah melihat bapak di pengadilan Gas," Lanjut pak Ari.
"Kenapa bapak marah pada Rini? bukankah memang dia pantas untuk membalas dendam?"
"Dia memang pantas untuk balas dendam," Jawab pak Ari, "Hanya saja bapak tahu itu bukan kata hatinya yang berbicara, tapi lebih pada sebuah janji yang dia ucapkan saat kakaknya meninggal dipelukannya."