4 Hari Sebelum Kiamat
Ana duduk terdiam di dalam mobil pickupnya sambil menatap sebuah rumah didepannya. Ada rasa ragu sekaligus takut yang menghinggapinya walaupun hanya dengan memandang rumah itu.
Diraihnya liontin yang menggantung di kalung yang melingkar di lehernya,
"Demi kamu Vin..." ucapnya lirih.
Ana membuka pintu mobilnya dan keluar lalu menutupnya dengan sangat pelan. Dia berjalan menuju pintu utama rumah itu dan hanya terdiam menatapnya sesampainya disana. Dia kembali ragu untuk mengetuk pintu dihadapannya.
Pintu terbuka setelah Ana mengetuk beberapa kali dan sosok lelaki berumur enapuluhan muncul dengan kursi rodanya dan tongkat pemukul ditangannya. Terdengar suara anjing menggonggong dari dalam rumah.
"Apa maumu?" bentak lelaki itu.
Ana hanya terdiam menatap lelaki itu.
"Apa kamu bagian dari kelompok kemarin, yang mencoba menjarah isi rumahku?" ucap lelaki itu sambil memainkan tongkat pemukulnya untuk menakuti Ana.
Ana masih terdiam menatap lelaki itu.
"Pergilah, aku tidak punya waktu," lelaki itu menutup pintu rumahnya.
"Aku Bulan..."
Ucapan Ana membuat lelaki itu tertarik sekaligus terkejut dan membuka kembali pintu yang hampir tertutup. Dipandanginya Ana dari ujung kaki hingga kepala, seolah - olah tidak percaya dengan penampilan sosok dihadapannya. Lelaki itu tiba-tiba tertawa keras.
"Lihatlah dirimu sekarang, aku tidak mempercayai kamu adalah Bulanku, dan aku hampir tidak mengenalimu."
Ana tersenyum sinis, sebuah senyuman yang dia paksakan.
"Apa yang kamu inginkan? Ingin bernostalgia seperti dulu," lelaki itu tertawa mengejek Ana.
"Dimana Bintangku?" tanya lelaki itu sambil melihat kearah luar mencari keberadaan seseorang.
"Sebentar lagi dia akan datang, kamu tidak ingin mengundangku masuk?"
Lelaki itu menatap Ana sesaat, lalu memenuhi permintaanya dan membiarkan Ana masuk kerumahnya lalu menutup pintunya.
"Rocky, diam di tempat," teriak lelaki itu pada anjing pitbullnya yang hampir menerjang Ana.
Jantung Ana berdegub kencang dan berusaha mengendalikan ketakutannya saat memasuki rumah masa lalunya bersama Vino, apalagi Rocky, si anjing pitbul hampir menerjangnya.
"Tidak banyak berubah," Ana menatap sekeliling rumah yang dulu pernah dia tempat bersama Vino. Dia terkejut saat tiba-tiba lelaki itu meremas pantatnya sambil terkekeh.
"Aku tidak menyangka akan bertemu kembali dengan kalian, apalagi menjelang kiamat seperti yang diberitakan ditelevisi."
"Kamu tidak mempercayainya?" Ana berjalan mengeliling rumah sambil melihat kondisi rumah untuk menutupi rasa tegang sekaligus ketakutannya. Sesekali dipandanginya Rocky yang selalu mengawasinya.
"Omong kosong," ucap lelaki itu.
Ana berhenti saat berada di depan lorong menuju dapur dan menatap sebuah pintu yang tertutup rapat, sebuah pintu yang berada ditengah lorong menuju dapur.
"Ingin melihatnya?" lelaki sudah berada disamping Ana.
"Untuk apa? Percuma kamu tidak bisa turun kesana," Ana menjauh dari lelaki itu.
"Demi masa lalu," ucap lelaki itu yang berdiri dengan bantuan tongkat besi ditangan kanannya.
Ana menoleh dan terkejut saat melihatnya, "Mungkin lebih baik kita menunggu Vino," pancing Ana untuk menambah rasa penasaran lelaki itu
"Ayolah, aku yakin dia tidak akan keberatan," lelaki itu terkekeh dan berjalan menuju pintu ruang bawah tanah dan membukanya lalu mengundang Ana untuk masuk.
Ana hanya diam berdiri menatap ruang yang tampak gelap didepannya sambil memegang liontinnya. Pandangannya beralih kearah Rocky yang masih menatapnya tajam.
"Tinggalkan dia diatas, aku benci anjing," Ana berjalan menuju ruang bawah tanah, dan saat akan masuk, lelaki itu menahannya dan meraih tas di pundaknya. Dia lalu memeriksa isi tas itu dan setelah dirasanya aman, dia menyerahkan tas itu pada Ana.
"Tidak pernah berubah," Ana menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah.
"Keamanan adalah prioritas," ucap lelaki itu sambil menutup pintu lalu menuruni anak tangga dengan hati-hati.
Ana mencoba untuk tetap tenang sesampainya dibawah, sebuah tempat yang memiliki kenangan buruk baginya dan Vino, sarang seorang phedofil. Sebuah mimpi buruk baginya dan Vino yang tak pernah berakhir. Sebuah ruangan yang dari luar mungkin tampak seperti ruang tidur biasa namun Ana tahu ada suatu ruang rahasia yang hanya lelaki itu yang tahu, sebuah ruang sebagai tempat untuk menyembunyikan segala bukti kejahatan lelaki itu selama bertahun-tahun. Ana melihat sekeliling, dan segera meraih tali tuntun anjing yang terbuat dari rantai kecil yang tergantung di dinding dan memasukkan kedalam tasnya.
Dia berusaha bersikap normal begitu lelaki itu turun, Ana berjalan menuju ranjang dan duduk diatasnya.
Lelaki itu tersenyum genit pada Ana dan menghampirinya, "Bulanku..."
"Kamu tidak ingin merekamnya seperti dulu?"
Ana bangkit berdiri saat lelaki itu berdiri dihadapannya dan berjalan kearah belakang lelaki itu. Dia membantu lelaki itu melepaskan pakaian dan celana panjangnya hingga menyisakan celana dalam.
"Jaman sudah berubah sayang, mereka lebih menyukai menonton secara langsung dari rumah mereka," ucap lelaki itu sambil menunjuk beberapa kamera tersembunyi dibeberapa tempat.
Ana memijat lembut kepala lelaki itu dan memberikan rangsangan berupa sentuhan kebagian sensitif tubuh lelaki itu.
"Aku tidak menyangka kamu akan selihai ini, seperti seorang pelacur," lelaki itu tertawa.
Ana tiba-tiba mendorong lelaki itu keranjang hingga jatuh tengkurap, lalu duduk diatas punggungnya.
"Benar-benar seperti pelacur berkelas," lelaki itu tertawa dan menikmati perlakuan kasar Ana padanya.