Sore sudah pekat. Terdengar panggilan azan magrib dari pengeras suara masjid. Bapakku sudah pergi ke masjid duluan. Aku berangkat ke masjid setelah azan selesai. Sekitar lima menit kemudian, setelah semua orang selesai salat sunah, komat dikumandangkan dan salat magrib segera dimulai. Aku salat di baris ke dua bersisian dengan Agus—cucu dari sahabat nenekku. Dia tinggal dua rumah di depan masjid ke arah utara, sedangkan rumahku tepat di belakang masjid.
Salat magrib selesai ditunaikan.
Setelah salat magrib, anak-anak di desaku biasanya langsung berangkat ke rumah ustaz untuk mengaji yang letaknya kira-kira duapuluh menit dengan jalan kaki. Sedangkan orang dewasa, setelah solat, mereka berzikir, berselawatan dan berdoa bersama. Namun, aku dan Agus tidak buru-buru pergi ke rumah ustaz, karena kami sudah khatam Iqra dan masuk Al-Qur’an, jadi giliran kami mengaji setelah semua yang mengaji Iqra selesai.
Aku bangkit dan mengekor Agus ke luar masjid tidak ikut berzikir dan berselawatan. Di luar masjid karena remang-remang aku agak kesulitan mencari sendal jepitku yang berwarna kusam kecoklatan, alhasil aku ditinggal Agus yang sudah berjalan jauh di depan. Kemudian aku menemukan sendalku di bawah sendal lain. Setelah itu aku mengejar Agus seraya memanggil namanya. Namun, aku melihat Agus berdiri tegak di sisi jalan dengan menghadapkan wajahnya ke pohon petai.
“Asik ditungguin,” kataku senang. Namun, anehnya Agus tetap diam. Aku mendekatinya.
Menelengkan kepala melihat wajahnya dan mengerutkan kening. Wajah Agus nampak pucat.
Kedua matanya melotot. Bibirnya pun terbuka lebar.
“Lihat apa, sih?” tanyaku penasaran. Agus menjawab dengan suara “Ngg…” seperti orang mengigau—tidak jelas. “Apa, sih?” kataku. “Tidak jelas.” Kemudian aku memutar kepala, menghadapkan wajah ke arah yang dilihat Agus. Di kegelapan, tepatnya di atas dahan pohon petai yang condong ke bawah hampir menyentuh tanah, sesosok perempuan berambut panjang, berwajah putih kebiruan, dengan mengenakan pakaian serba putih—berdiri tegak menatap balik ke arah kami.
Aku ingin segera berlari, tetapi kakiku tidak bisa digerakkan. Aku pun ingin berteriak, tetapi mulutku kaku untuk dibuka. Alhasil aku cuma bisa mematung menatap sosok itu seperti Agus.
“KUNTILANAK!!!!”
Teriak Agus kencang sambil berlari tungganglanggang.