Malam itu aku tidak mengaji karena ustaz ada keperluan. Selepas salat magrib aku dimintai tolong untuk mengantarkan baju jahitan ke ibu Onih dengan sepeda. Karena rumahnya sepuluh rumah dari rumahku. Sekitar tiga menit aku sudah sampai di rumah ibu Onih, lalu segera mengetuk pintu, dan mengucapkan salam. Tak lama, ibu Onih muncul dan berkata, bajunya sudah jadi, ya? Aku mengangguk, menyerahkan baju lalu berpamitan pulang.
Di tengah jalan rantai sepedaku tiba-tiba lepas dari jeruji. Aku mendengus kesal. Namun, karena sudah biasa aku cepat memperbaiki rantai sepeda lalu kembali mengayuh pedal. Dan saat melewati rumah tua-kosong, telingaku mendengar suara seseorang menangis lamat-lamat. Dari suara tangisannya seperti suara bocah. Aku mengerem, menyandarkan sepeda di sisi pagar rumah kosong itu. Cat dindingnya sudah terkelupas dan dipenuhi lumut. Rumput liar di halaman yang terkena cahaya lampu bohlam lima watt yang menggantung pada bilah bambu di sisi jalan berkilau kaya jarum. Aku mendorong pagar besi karatan, seketika itu muncul bunyi derit aneh bagai suara hewan dari dunia lain, lalu aku melangkah ke pelataran rumah itu, berdiri sambil menebarkan pandangan dengan menajamkan mata dan telinga mencari dari mana tangisan itu berasal. Namun, suara tangisan itu lenyap begitu saja oleh kegelapan di sana-sini yang mendiami bangunan. Aku mengangkat bahu, memutar badan, lantas berjalan menuju sepeda. Malam sangat sunyi dan gerah. Baju di bawah ketiakku basah. Betapa terkejutnya aku, sampai-sampai hampir terjatuh, saat menarik sepedaku… di balik pagar samping rumah kosong itu yang tak terkena cahaya bohlam, seorang anak berdiri menatap ke arahku. Aku melompat ke sadel dan bergegas mengayuh pedal.
——
Esok harinya, saat makan selepas pulang sekolah, aku bertanya pada ibu, rumah kosong itu milik siapa.
Ibu menjawab, “Oh, rumah itu milik keluarga pak Wahyu,” dia menuangkan air di gelasku.
“Istrinya—bu Yuyun, teman kecil ibu.”
“Kenapa rumah itu kosong, bu?” aku bertanya setelah menelan makanan.