Aku bangun siang hari itu. Ibu dan bapak tidak ada di rumah, pergi mengunjungi kenduri kawin teman kecilnya di desa lain. Karena itu, aku seharian tidur-tiduran di kasur.
Senang sekali.
Aku lihat jarum jam dinding menunjukkan pukul 1 siang lewat 5 menit.
Aku meregangkan tubuh sejenak, bangkit mengambil air wudhu, lalu salat. Setelah itu, aku makan siang yang diberikan bibi sebelum tengah hari dan duduk-duduk di teras rumah sambil ngenyot es rujak buatan ibu yang segar. Tak cukup satu, aku berniat mengambil satu lagi, tetapi baru akan masuk rumah terdengar seseorang memanggil nama ibu dari luar. Aku berbalik, di depan rumah seorang perempuan berdiri sambil tersenyum kepadaku. Rambutnya yang dikuncir kuda membuat wajahnya terlihat bulat kaya serabi.
“Aih, Dede,” kataku seraya menghampirinya. Aku biasa memanggil Ratna dengan sebutan “Dede” karena usianya setahun di bawahku. Aku dan dia sabahat dari kecil. Jika aku berjalan bersama, orang mengira kami kakak beradik. Ya, Dede kakaknya, aku adiknya. Begitu.
“Kirain tidak ada orang,” katanya.
“Ini ada orang, kan?”
Dede tersenyum kecil. “Oiya, ini baju. Ibuku minta dikecilkan.” Tangan Dede menjulur, memberikan kantung plastik. Aku mengambil.
“Cuma dikecilkan, kan?” tanyaku memastikan.
“Iya,” kata Dede mengangguk. “Oiya, semalam bagaimana acara bakar-bakarnya, seru?”
“Lumayan,” jawabku.
“Pasti… sambil bakar-bakar melakukan hal konyol. Begitulah lelaki kalau kumpul.”
“Anak perempuan juga, kalau kumpul pasti bergosip.” Balasku.
Dede tertawa. Aku juga tertawa. Kemudian kami terdiam sebentar.
“Lif,” Dede membuka mulut duluan. Wajahnya nampak agak ragu-rahu. “Semalam ada kejadian seram.”