Cerita Selepas Magrib

Sasa Herman
Chapter #7

Siulan di sore hari

"Ayo, balik?” ajak Agus seraya bangkit, menaruh pancing yang terbuat dari bilah bambu di pundak. Ya, dia sudah siap pulang.

“Nanti!” tolak Ageng. Dia masih duduk santai di tepi sungai. “Aku baru dapat seekor, nih.”

“Sudah sore, Ageng…” keluh Agus. “Bentar lagi magrib.”

“Iya, Ageng.” Ujarku yang sudah siap balik juga.

“Besok, kan, bisa mancing lagi,” rayu Agus.

“Iya, iya… “ ucap Ageng, kesal. Dia bangkit, merapikan kail pancing dan membuang sisa cacing ke sungai. Lantas mendengus dan berjalan pulang duluan.

Langit senja musim kemarau terlihat sudah berwarna jingga tua. Di langit timur yang tak berawan nampak juga bintang. Dua ekor burung peking terbang naik-turun di udara sambil bercicit dan menghilang di balik antara pepohonan yang rimbun. Setelah itu suasana perlahan jadi hening. Sambil memanggul pancingan, kami berbaris berjalan pulang di atas pematang sawah yang terasa sangat keras. Meski begitu, karena mengenakan sandal jepit karet, kaki kami tidak terasa sakit.

Kemudian sambil tetap melenggang melangkah pulang Ageng memecah keheningan dengan bersiul. Suara siulannya terdengar panjang, terputus-putus, pendek, panjang lagi, lalu melengking keras. Entah apa yang dia siulkan. Namun, dari suaranya, dia bersiul menyanyikan suatu lagu. Lagu apa, aku tidak tahu. Mendengar itu, Agus menoleh ke arahku dengan wajah datar sambil berjalan. Aku menatap balik seolah bicara apa?

“Ageng?” panggil Agus.

Lihat selengkapnya