Cerita seorang Pecundang

NRP
Chapter #1

Itik kecil

Aku masih mengingat hari saat kami tiba di dukuh Maduarjo, sebuah daerah pedesaan yang asing bagiku. Jalannya masih berupa tanah berbatu. Kami berhenti di depan sebuah rumah sederhana milik nenek—tempat kelahiran ibuku.


Aku duduk di pangkuan ayah yang tampak kelelahan. Tubuhnya lunglai, bajunya lepek karena keringat. Di sekeliling kami, tampak bertumpuk kardus bekas berisi pakaian—kami memang tidak memiliki koper. Tak ada boneka, tak ada mainan. Hanya tubuh kecilku yang berusaha memahami bahwa kami sedang meninggalkan sesuatu.


Rumah nenek berdinding anyaman bambu yang dilapisi gamping, dengan aroma khas yang langsung menyergap: perpaduan antara kayu tua, debu, dan asap dapur kayu bakar. Dari kejauhan terdengar suara bedug dari masjid kampung yang menandai waktu salat Ashar. Suasana baru ini terasa asing, namun entah kenapa… menenangkan.


Saat itu aku baru berusia lima tahun. Tapi meski masih kecil, aku dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang berubah.

Ayah menjadi lebih pendiam.

Ibu memang masih ikut pindahan, namun hanya beberapa hari. Setelah itu, beliau tampak sibuk, sering keluar rumah mengurus berbagai keperluan. Belakangan aku baru memahami, ibu tengah mempersiapkan keberangkatannya ke Taiwan sebagai tenaga kerja migran. Selama tiga bulan, beliau tinggal di asrama pelatihan untuk belajar bahasa dan keterampilan kerja.


Beberapa hari setelah kepergian ibu ke tempat pelatihan, aku diajak oleh tante untuk mendaftar ke taman kanak-kanak di dukuh sebelah. Kami berjalan bertiga—aku, tanteku, dan sepupuku, Hermawan, yang kebetulan seumuran denganku, hanya terpaut tujuh belas hari.


Kami menempuh jalan pintas, menyusuri pematang sawah dan menyeberangi sungai kecil melalui jembatan bambu sederhana yang tersusun dari tiga batang sejajar. Sesampainya di sekolah, kami harus melintasi selokan besar dengan jembatan papan kayu yang tampak tua.

Lihat selengkapnya