SMP itu menyebalkan. Satu hal yang kuingat saat aku masih kelas tujuh SMP. Awalnya menyenangkan akhirnya aku bisa meninggalkan kelas SD selamanya. Yang berarti orang di sekitar akan memperlakukanku dengan berbeda. Aku akan bebas melakukan yang kumau dan juga mengalami apa yang orang dewasa sering katakan. Bersenang-senang dengan teman-teman lebih sering, mengejek guru diam-diam, jatuh cinta dan melakukan hal gila yang lain. Paling tidak, itu yang terjadi padaku saat itu.
Alasan lain aku membenci jadi anak SMP yaitu di pelajaran matematika. Tingkat kesulitannya pelajaran itu meningkat dan aku belum siap. Aku sangat bodoh di pelajaran matematika. Aku selalu mendapat nilai rendah pada setiap tugas sekolah atau ulangan harian yang berhubungan dengan matematika sewaktu masih kelas enam SD. Kuyakin, di kelas ini pun akan jauh lebih buruk. Namun, untunglah guru matematika yang sekarang membuatku sedikit lebih baik.
Bu Mary sangat baik pada semua murid di kelasku. Ia sangat sabar mengajarkan anak yang kesulitan dalam pelajaran matematika sepertiku. Ia bahkan tidak tersinggung atau marah saat teman sekelasku mengejeknya diam-diam. Aku jadi kasihan padanya, tetapi aku juga tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku hanya berharap jika Bu Mary tahu apa yang mereka perbuat, mereka akan dapat ganjaran yang besar juga.
Dalam pelajaran lain pun, aku bukanlah yang terpintar di kelas. Tara, anak gadis paling pintar matematika di kelas dan putri dari pemilik sekolah ini. Aku benar-benar pecundang. Ia juga sangat pintar dalam berbagai mata pelajaran lain daripada anak murid yang lain. Ya, ampun, kenapa aku begitu bodoh?
Minggu pertama berjalan baik-baik saja hingga perubahan berangsur-angsur terjadi pada minggu kedua. Anak-anak murid mulai bergaul dengan teman-teman mereka sendiri. Anak laki-laki dengan laki-laki dan anak perempuan dengan perempuan. Itu hal yang baru untukku. Sewaktu kami semua masih SD, semuanya bermain bersama-sama. Namun, sekarang aku mulai merindukannya dan juga akan butuh usaha untukku beradaptasi dengan mereka.
Anak laki-laki mulai membuat kelompok kecil, tetapi tidak semua dari mereka yang bergabung dengan kelompok itu. Yang tidak ikut hanya mengurusi aktivitas mereka sendiri. Tadinya, aku juga salah satunya. Namun itu hanya sebentar saja.
Suatu siang saat jam istirahat, Bayu menghampiri ke meja belajarku saat aku baru akan menyantap bekal makan siangku. Ia memintaku untuk bergabung dengan kelompok kecilnya. Aku lupa apa nama kelompoknya tetapi kegiatannya sangat culun. Mereka hanya membaca buku komik dan membahas film kartun anime. Awalnya, aku tidak tertarik. Namun, ketika aku menoleh ke sekitar dalam kelas dan melihat anak-anak yang lain sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, aku berubah pikiran.
“Ayo, gabung. Seru, kok!” bujuk Bayu yang duduk di kursi dengan posisi berlawanan arah.
“Aku harus apa?” tanyaku.
“Kau bisa gambar, ‘kan? Aku lihat beberapa gambarmu di buku itu,” katanya sambil menunjuk buku warna cokelat di bawah tumpukan buku-buku pelajaran lain di mejaku.
“Gambarnya jelek.”
“Nggak apa-apa. Yang penting gambar saja seperti kami semua.” Satu hal yang harusnya mereka pahami, sebenarnya aku tidak bisa menggambar sama sekali.
“Jadi, ikutan atau tidak?” tanyanya menunggu kepastianku.
“Ya… ya, sudah,” jawabku ragu. Jadi begitulah bagaimana aku bisa jadi bagian dari kelompok mereka. Aku duduk bersama mereka setiap jam istirahat. Kami membicarakan berbagai hal berkaitan dengan gambar atau kartun, buku komik, bahkan film kartun spesial di Televisi. Kami juga sering menggambar. Buku cokelatku penuh dengan gambar-gambar. Ibu marah saat ia menemukannya dan melihat semua gambar pria berjubah dengan pedang besar yang keren di tangannya dan bukan angka atau kata-kata.
“Ibu kasih kamu buku buat diisi pelajaran. Bukan malah buat gambar orang yang pegang… pisau besar konyol itu.”
“Tapi itu bukan pisau besar, Bu. Itu Pedang Boxer.”
“Pedang apa?”
“Pedang Boxer. Dia gunakan pedang itu untuk menghantam musuhnya dalam sekali tebas,” jelasku. Aku benar-benar culun sekarang.
“Terserahlah. Yang penting jangan buang-buang buku lagi buat gambar-gambar kayak gitu. Ibu nggak mau belikan kamu buku baru lagi, ya. Sekarang, kerjakan PR-mu!” titahnya padaku ketika aku memang sedang mengerjakan PR-ku di kamar.
Aku tidak terlalu peduli soal itu. Alasan utamaku mulai nyaman dengan kelompok ini dan belajar menggambar sendiri karena anak-anak gadis mulai tertarik dengan semua ini. Hampir semua anak laki-laki mulai menggambar. Guru pun mulai memberi kami tugas menggambar di sekolah sewaktu pelajaran seni. Semua murid mulai kembali berbaur lagi, termasuk yang kusuka.
Namanya Nora. Aku… jatuh cinta padanya. Butuh waktu lama bagiku menyadari bahwa aku punya perasaan padanya, seolah rasanya aku rela melakukan apa pun untuknya. Itu semua terjadi begitu saja. Seperti apa yang terjadi sewaktu masih kecil saat ia merayakan ulang tahunnya di sekolah.
“Anak-anak!” panggil Bu Marina, guru dengan senyum dan suara yang lembut favoritku saat itu. “Kita punya hari spesial untuk salah satu teman kalian. Hari ini adalah hari ulang tahun Nora yang ke-7. Ibu minta kalian nyanyi lagu selamat ulang tahun sama-sama dan beri salam di depan kelas, mengerti?” Semua anak-anak menjawabnya serentak dan bersemangat.
Ibunya, kuyakin, datang membawa kue dengan beberapa lilin menyala di atasnya bersamaan dengan anak-anak yang mulai menyanyi lagu selamat ulang tahun. Bermacam-macam intonasi nada mereka kini memenuhi seluruh ruang kelas itu. Betapa hari yang menyenangkan baginya.
Setelah meniup lilin ulang tahun, Bu Marina meminta kami mengucapkan selamat ulang tahun padanya di depan kelas. Semua murid sangat bersemangat dan langsung berbaris rapi. Anak murid perempuan di urutan depan dan anak laki-laki di belakang. Aku berada di belakang Cindy, yang berarti aku jadi anak laki-laki pertama di barisan anak laki-laki yang mengucapkan selamat ulang tahun pada Nora. Kenapa harus aku? Aku sangat gugup. Mungkin ucapan selamat ulang tahun sudah cukup? Tapi bagaimana dengan doa dan harapanku untuknya?
Lantas, aku melihat beberapa anak perempuan menjabat tangannya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Kemudian, mereka mencium pipinya, selain mengucapkan doa atau harapan ulang tahun untuknya. Bu Marina menganggapnya lucu dan menerimanya. Ketika giliranku tiba, aku berjabat tangan dengannya, bilang “Selamat ulang tahun, Nora,” lalu mencium pipinya. Aku bisa mencium aroma rambutnya.
Kecupan manis dan singkat yang kuberikan membuatnya bergeming dan tercengang. Pipinya lantas memerah. Anak murid yang lain dan Bu Marina tercengang menatapku juga. Aku tak tahu kenapa, tetapi, aku menyadarinya ketika aku melihat anak murid laki-laki lain yang mendapat gilirannya mengucap selamat ulang tahun, tidak ada yang mencium pipinya. Sungguh memalukan. Hanya aku anak murid laki-laki yang mencium pipinya, meskipun tidak ada yang menganggap itu hal serius waktu itu. Bahkan, ibunya tidak tahu tindakanku karena sedang bicara dengan guru lain di luar kelas. Aku tidak tahu apa rasanya jatuh cinta saat itu. Namun, itu hal termanis yang kutahu dengannya.
Ceritaku dengannya tidak berawal dari sana. Kisahnya berawal ketika sekolah mengumumkan Hari pelajaran renang yang akan diadakan hari Jumat. Hanya tinggal satu hari lagi. Anak murid yang lain sangat bersemangat dan mereka tidak sabar menunggu hari itu datang. Bukan karena pelajaran renang, tetapi karena mereka bisa bolos. Pelajaran renang itu untuk nilai olahraga. Tampaknya tidak penting bagi yang lain. Mereka lebih memilih untuk bolos daripada hadir dan membiarkan guru olahraga mengambil nilai mereka satu per satu yang tidak pernah memuaskan mereka.