Cerita Tentang Kita

Sem Irviady Surya
Chapter #4

BAB EMPAT

Hari Kamis pagi, aku sudah tidak sabar pergi ke sekolah. Aku sengaja bangun lebih awal pagi itu, bersiap-siap, mengembol tasku dan lari ke teras. Ibu memintaku agar beristirahat untuk satu hari lagi saat melihat wajahku yang masih tampak pucat. Tetapi menggelengkan kepala. Aku sudah sangat bosan hanya berbaring di tempat tidur dan tidak melakukan apa pun. Aku sudah tertinggal banyak pelajaran dan, harus kuakui, aku rindu pada Aldi.

Karena buru-buru, aku lupa membawa bekal yang sudah disiapkan ibu di meja makan. Jadi saat jam istirahat, aku harus membeli makan siang di gedung kantin sekolah. Untung saja masih ada sisa uang saku mingguan yang diberikan ibu.

Gedung kantin sudah penuh dengan anak-anak murid dari kelas kecil hingga kelas yang besar. Keempat kursi panjang yang tersedia pun sudah terisi penuh. Makanan dan jajanan yang jajahkan juga hampir habis laku terjual. Bu Joko, istri Pak Joko, beranjak keluar dari dapur dan melihatku sedang bingung memilih jajanan di etalase kaca. “Wah, telat, neng,” ujarnya. “Makanannya habis semua.”

“Sisanya tinggal apa, Bu?” tanyaku sedikit kecewa.

“Tinggal nasi dan telur dadar saja. Neng mau?” Aku spontan menganggukkan kepala. Bu Joko lantas menyiapkannya di kotak serofom makanan dan menyerahkannya padaku. Nasi dan telur dadar dengan harga lima ribu menurutku masih mahal. Namun, ini lebih baik daripada tidak makan sama sekali.

Aku beranjak keluar gedung bermaksud mencari tempat duduk untuk menyantap makan siangku. Tak sengaja, dari sudut mataku, kulihat Aldi sedang duduk di kursi taman bawah pohon di depan kelas satu SD yang tidak jauh dari gedung kantin. Diam-diam, aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya tanpa melirik. Jantungku berdegup kencang karena terlalu girang bisa berdua dengannya. Aku hampir tak bisa menahan senyumku sendiri.

Kursi itu menjadi saksi bisu kenangan kami berdua sewaktu masih kelas dua SD. Cerita tentangku yang pernah memanjat pohon rindang di belakangku dan membuat semua orang satu sekolah tercengang, serta panik itu benar. Kenangan itu tiba-tiba terlintas di kepalaku ketika aku mendongak ke atas pada dahan-dahan pohon itu. Aku tahu pohonnya sudah berbeda dari yang kuingat dulu. Pihak sekolah sudah menebang pohon yang kupanjat dan menanamnya dengan yang baru. Tumbuh lebih pendek meskipun sama-sama rindang dan bercabang-cabang.

Kami duduk di kursi itu dalam diam sambil menyantap makan siang. “Kenapa jadi tidak asik seperti hari-hari kemarin, sih?” tanyaku dalam hati. Apa karena aku yang sudah tidak masuk tiga hari? Apa sudah ada yang mendekati Aldi selama aku sakit? Kekhawatiranku membuatku tidak tenang sehingga aku pun mulai bicara.

“Pohonnya sudah beda sekarang, ya,” kataku. Ia melirikku, lalu mendongak. Mulutnya penuh dengan nasi yang baru disuapnya. Lalu, ia kembali melirikku dengan bingung, menunggu penjelasan apa yang berbeda. “Harusnya pohon ini menua di halaman sekolah, tapi malah kamu yang menua di hatiku.”

UHUK, UHUK, UHUK…

Aku tidak dapat menahan air mata yang menggenang di mataku karena tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksinya. Ia mendadak tersedak dan memuntahkan nasi yang ada dalam mulutnya. Aku pun segera meraih botol minum miliknya dan menyodorkannya sambil masih tertawa kecil.

“Kau lucu sekali!” ujarku masih tertawa kecil. Ia berhenti meneguk minumnya dan melirik padaku. Pipinya langsung memerah. “Tapi serius, deh. Memang ada yang berbeda. Lihat saja,” tambahku.

“Sepertinya pohon ini lebih pendek dari pohon yang dulu.” Aldi mendongak ke dahan-dahan dan rimbunnya dedaunan pohon itu. Lalu, ia kembali menyuap nasinya.

“Itu artinya, pohon ini sudah tidak aman untuk dipanjat. Jangan dipanjat lagi,” responnya. Aku tertawa kecil tidak menyangka ia masih mengingat kejadian sewaktu kami masih duduk di kelas dua dan makan siang di kursi yang sama seperti kami tempati sekarang.

“Belum tentu,” bantahku. “Pohon ini mungkin lebih muda dengan yang dulu. Mungkin batangnya sudah kuat buat dipanjat. Tapi aku tidak yakin pemandangan dari atas sana sama seperti yang dulu.”

Lihat selengkapnya