Suara motor terdengar dari luar rumah. Pintu pagar memekik dan roda-rodanya berdecit saat terbuka. Boy menggonggong keras, tanda ada seseorang yang masuk ke dalam rumah. Aku menebak Ibu baru saja pulang. Lantas, aku bergegas menuju ke lantai bawah, membuka pintu depan untuknya.
“Darimana, Ma?” tanyaku heran melihatnya membawa banyak barang belanjaan.
“Eh, anak Mama sudah pulang,” balas sapanya padaku. “Ini, Mama habis dari kelurahan. Sekalian mampir ke mini market dekat situ. Terus belanja, deh,” Ia menyodorkan beberapa kantung belanjaan padaku dan memintaku menaruhnya sesuai dengan tempatnya. Aku meraih kantung-kantung tersebut dan melakukan permintaannya.
“Oh, iya, Nora. Nanti sore ingatkan Mama, ya,” ujarnya saat ia sedang membongkar sisa barang belanjaan yang lain dan bersiap untuk memasak makanan.
“Ingetin apa, Ma?” tanyaku yang sedang menaruh bungkus mi instan dan beberapa bumbu dapur di lemari kecil dekat meja makan.
“Tolong antarkan makanan ke rumah Pak Wirdawan, sekalian kasih undangan acara pernikahan kakakmu ke keluarganya. Acaranya ‘kan bulan depan, di gedung aula dekat kantor kelurahan.” Aku terdiam sejenak dan kemudian menganggukkan kepala.
“Tapi, aku nggak tahu rumahnya, Ma.”
“Rumahnya nggak jauh, kok. Dekat lapangan serba guna. Sekalian, kamu bawa jalan Boy.”
“Oke,” singkatku.
Sekitar pukul empat sore, alam benar-benar sedang memancarkan sisi terindahnya pada dunia. Aku jadi bersemangat membawa jalan-jalan Boy ke sekitar sekaligus mengantarkan surat undangan dan makanan kepada Pak Wirdawan. Aku tidak tahu pasti dimana letak rumahnya. Petunjukku hanya apa yang Ibu bilang bahwa rumahnya tidak jauh dari lapangan serba guna.
Aku mengitari blok rumah-rumah di dekat lapangan serba guna dan mencari nomor rumah Pak Wirdawan yang tertera di surat undangan. Tak sengaja, Aldi, yang tampaknya sedang lari sore, berpapasan denganku. Boy langsung menyalak padanya dan hampir menyerangnya saat ia menghampiriku.