Sore itu sangat cerah. Matahari sore tampak terlihat bulat saat aku melihat dari jendela kamarku. Warna kuning bercampur oranye membuatku ingin melihatnya lebih dekat dari luar kamar. Hal itu membuatku tiba-tiba beranjak dari tempat tidurku dan berlari ke lantai bawah.
“Aldi!” panggil Ibu dari dapur saat melihatku terburu-buru turun tangga. “Kamu mau kemana? Buru-buru gitu” tanyanya lagi.
“Mau lari sore, Bu.” Ibu mengangguk dan mengizinkanku pergi.
“Jangan sampai magrib, ya!” teriaknya saat aku hendak menuju pintu depan.
Suasana sore itu memang indah dari luar ruangan, lebih indah dari yang kubayangkan dari kamarku. Banyak orang-orang yang berlari atau berjalan sore dan anak kecil yang bermain sepeda dengan teman atau orangtuanya. Mereka semua menuju ke lapangan serbaguna di dekat rumahku.
Namun, itu bukan tujuanku. Aku hanya berlari kecil melewatinya saja sambil melihat orang-orang melakukan aktivitas mereka masing-masing menggunakan fasilitas yang tersedia di lapangan itu. Aku berlari kecil mengitari gang pertama setelah gang rumahku, lalu menuju jalan besar.
Dari kejauhan, tak sengaja aku melihat Nora sedang kebingungan sambil membaca sesuatu di tangannya dan melirik pada setiap rumah yang ia lewati. Ia membawa seekor anjing Golden dengan tali di satu tangannya. Awalnya, aku enggan menemuinya. Anjing itu bisa saja menggigitku kalau aku mendekatinya. Namun, aku juga tidak mau terlihat lemah atau takut di depan dirinya.
Akhirnya, kuberanikan diri dan melangkahkan kakiku berlari kecil menghampirinya. Sudah kuduga, anjing itu langsung menyalak dan hampir menyerangku. Aku tersentak kaget dan melangkah mundur dengan waspada, tetap berusaha untuk tidak tampak takut dengan anjing itu di depannya.
Nora tersentak dan melirik padaku. Ia tertawa kecil melihat reaksiku dan ia pun lantas menenangkan anjingnya. “Anjingmu galak juga, ya,” kataku sambil terus waspada menatap tajam mata anjing itu. “Untung yang punya nggak ketular.”
Ekspresinya lantas berubah cemberut. “Maksudnya gimana, ya?” ketusnya. Aku tertawa kecil melihat ekspresinya dan ikut perlahan mengelus bulu-bulu pirang kecokelatan anjing itu. Aku mendadak melangkah mundur dengan cepat lagi dan waspada saat ia memerintah anjing itu. “Gigit, Boy!” Aku sempat menjerit kecil dan melangkah mundur. Namun, Nora malah tertawa seolah sengaja melakukannya untuk mengerjaiku saja.
“Lagi ngapain?” tanyaku basa-basi. Ia melirik pada anjingnya, lalu kembali menatapku.