Cerita Tentang Kita

Sem Irviady Surya
Chapter #8

BAB DELAPAN

Jantungku berdebar-debar. Matanya terbuka lebar dan benar-benar tepat menatapku. Tubuhku tiba-tiba gemetar. Ada sensasi aneh dan menyenangkan yang bercampur jadi satu saat tidak sengaja aku bertatapan dengannya, seperti sejoli yang siap berciuman bibir dalam adegan di film Barat. Apa dia akan menciumku seperti di kelas satu? Atau ia akan menyatakan perasaannya padaku?

“Ngg… A-a-aku pulang duluan ya, Ra.” 

Kata itu yang malah terucap bersamaan dengan Boy menyalak pada kami berdua. “Sudah sore juga,” tambahnya. Ia tampak malu-malu menatapku kembali. Aku mengangguk pelan dan tersenyum kecil melihat tingkahnya yang mendadak gugup seperti itu.

Pukul 17:30 menjelang magrib, aku sampai di rumah. Tali pengikat Boy kulepas dari kalung di lehernya agar ia bisa bebas berlari-lari di sekitar rumah – dari teras depan hingga halaman belakang. Ia benar-benar memanfaatkan kesempatan itu.

Ketika beranjak masuk ke rumah, Ibu memergokiku yang baru saja pulang. Ia memerhatikan senyum di wajahku. “Nora, kok baru pulang? Terus kenapa senyum-senyum sendiri?” Aku tertegun melirik ke kanan dan kiri, mulai gugup.

“Ng-ng-nggak ada apa-apa, Ma,” jawabku terbatah-batah. Ibu hanya mengerut kening menatapku curiga. “Tadi si Boy lepas jadi aku kejar-kejaran. Lucu aja, harusnya dia yang olahraga. Jadi malah aku yang olahraga,” jelasku.

“Oh, gitu. Ya, sudah sana mandi! Badan kamu lepek itu!” balas Ibu. Aku mengangguk dan segera menuju kamar mandi. Sambil berendam dalam bak mandi, aku terus melamunkan saat-saat bertatapan dengan Aldi cukup lama di pos satpam lapangan serba guna dan juga bertanya-tanya kenapa ia mendadak gugup setelahnya. Sensasi aneh sekaligus menyenangkan dalam diri mulai membuatku kembali tersenyum-senyum sendiri. Entah akan bagaimana sikap kami ketika masuk sekolah nanti.

Secara tidak langsung, aku sudah bisa menebak ia juga menyukaiku. Tatapan matanya tampak berbeda dibandingkan dengan caranya menatapku setiap hari atau saat ketahuan curi-curi pandang di kelas komputer. Tatapannya sangat dalam seolah bisa melihat ke dalam jiwaku. Kukira ia sudah akan menciumku atau setidaknya mengatakan sesuatu yang romantis saat itu. Mungkin hariku sudah akan lebih indah. Dua kejadian romantis yang terjadi dalam satu hari.

Hari Senin datang begitu lama. 48 jam terasa begitu tersiksa bagiku yang tidak sabar ingin bertemu dengannya lagi. Kali ini, aku datang benar-benar pagi, bahkan terlalu pagi. Aku murid perempuan pertama yang sampai di sekolah daripada anak-anak yang lain. Pak Joko yang sedang merapikan motor-motor guru di tempat parkir pun heran melihatku datang.

“Eh, neng Nora. Tumben pagi banget datangnya,” sapanya. “Takut dihukum sama Bu Yani lagi, ya?” Ia tertawa kecil meledekku. Aku tersenyum malu.

“Iyalah, Pak. Sudah kapok saya, makanya datengnya pagi banget.”

“Bagus, deh. Den Aldi nggak bareng?” tanyanya lagi. Aku mengerut kening dan bertanya-tanya mengapa Pak Joko berkata seperti itu.

Lihat selengkapnya